Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #17

Mulan

Kalau ada orang yang benar-benar tersakiti baik dari sisi fisik ataupun psikis, Mulan adalah contoh yang tepat untuk menggambarkannya. Perempuan yang dicap sebagai perempuan tidak baik-baik itu, ternyata benar-benar merepresentatifkan utuh gambaran ketidak-baikan dalam kehidupannya. Dilahirkan tanpa sosok ayah, menjadi alasan terbesar perempuan itu nekat untuk mendatangi laki-laki yang bahkan akan melangsungkan ijab kabul dengan perempuan lain esok. Ia tidak ingin, bayi yang ada dalam kandungannya bernasib sama dengan dirinya.

Nyatanya, setelah berhasil merebut laki-laki itu, kehidupannya tidak kunjung membaik. Bahkan hari-harinya jauh semakin suram. Iya, anak nya memang tidak lahir tanpa sosok Ayah karena mereka telah sah menjadi suami-istri sejak bayinya masih di kandungan, tapi sumpah demi apapun peran laki-laki itu bahkan terasa amat minim dan samar.

Betapa tidak, selama dua tahun menjalankan biduk rumah tangga, laki-laki itu tidak pernah memberikan nafkah untuk istri dan anaknya. Membiarkan Mulan harus berdiri tegap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sedangkan, Bagas—laki-laki keparat— itu hanya akan duduk rapih menikmati jerih payah sang istri. Jangankan untuk menjadi qawwam mendidik keluarga, menjalankan tugas nya sebagai pemimpin, justru yang ia lakukan hanya hilir mudik entah kemana di setiap harinya. Atau sekalinya dirumah, ia akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game online.

Belum lagi, kesakitan hati Mulan tiap ia mendengar sebuah nama yang bukan dirinya, berulang kali diucapkan dengan spontan saat memadu kasih dengan suami nya. Bagas memang tidak pernah lagi selingkuh. Mulan menjadi yang terakhir. Namun, ia menancapkan luka dihati perempuan itu dengan cara lain. Ia seolah hanya menjadi alat pemuas nafsunya, tidak benar-benar menjadi seorang istri yang mendapat naungan dan kasih sayang.

“Jahannam! Jadi Bagas nemuin perempuan itu? Kapan?”

“Sekitar seminggu yang lalu, mba. Kayaknya Bagas masih cinta ya sama mantan pacarnya itu?”

Mulan terdiam. Mendengar pemaparan adiknya itu membuat amarah yang selama ini dipupuk kian melambung. Bisa-bisanya laki-laki itu melanggar perjanjian yang ia buat sendiri. Mereka telah sepakat, bahwa Bagas tidak akan lagi menemui perempuan itu.

“Mba harus buat perhitungan dengan perempuan itu.”

“Mba, bentar. Berita yang ku denger dia sampe masuk rumah sakit dua hari setelah ketemu mas Bagas. Kayaknya dia masih depresi, mas bagas yang musti dikasih tau mba.”

Mulan berdiri kaku, bukan tidak tau kejadian yang menimpa Refa dua tahun lalu. Jelas ia tau, meski cukup senang mendengar perempuan itu hampir gila, ia juga merasa kasihan. Ia sudah dengan jahat merebut Bagas dari dirinya, secara tidak langsung menjadi penyebab Refa tertekan hingga depresi. Namun, membiarkan Bagas menemui perempuan itu juga tidak bisa ia biarkan. Meskipun Bagas lebih banyak membuat sakit hati, Mulan mencintai nya dan Adriyan –buah hati nya— jelas masih membutuhkan sosok ayah dalam kehidupannya. Ia tidak ingin kisah lama mereka kembali terajut.

“Mba hanya mau bicara dari hati ke hati. Lepas!” ucap Mulan sambil menghalau genggaman tangan yang menahan laju nya.

 “Mba mau kemana?”

 “Titip Adriyan sebentar, kalo mas Bagas tanya, bilang aku ke pasar”

“Mba.. Mba Mulan...”

Lihat selengkapnya