Atas berbagai keadaan yang membahagiakan hatinya selama berpuluh-puluh tahun hidup di dunia, memiliki Refa adalah satu dari kebahagian yang hingga hari ini selalu terpatri dalam benaknya. Gadis itu bak permata dengan sinar nya yang menenangkan, ia adalah pelipur lara saat diri merindukan bayang kekasih. Mungkin ini alasan kenapa gurat wajah dan sikap dicipta sedemikian persis. Melalui Refa, setidaknya rindu ia pada almarhumah istrinya sedikit terobati.
Laki-laki paruh baya itu terduduk di sudut ranjang kamar. Meniti dengan teliti setiap goresan pada sebuah lukisan indah yang memuat sosok yang begitu ia sayangi. Betapa laki-laki itu merindukan istri tercintanya.
“Aku rindu kamu Nia, entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa ingin terus melihat kamu” tutur Pak Darma sambil mengarahkan jemari ke atas wajah seorang perempuan cantik berparas meneduhkan.
Sepeninggal istrinya 7 tahun yang lalu, Pak Darma terus bersikap kuat dihadapan Refa. Menyembunyikan sedihnya, membalut luka seorang diri, hingga jika benar-benar tidak kuat, pak Darma akan mengunci pintu dan membuka sekotak kenangan yang ia sembunyikan di bawah ranjang kasur nya. Disana, semua hal yang berkaitan dengan sang istri tersimpan. Foto, lukisan, sampai beberapa makeup dan parfum ada didalam sana. Diluar dari ketegarannya, jauh dalam hatinya ia sungguh terlihat timpang. Separuh jiwanya telah pergi, jika bukan karena Refa -buah hati mereka- jelas ia sendiri tidak akan menyangka mampu bertahan selama ini.
“Sayang, kalau besok-besok takdir berkata lain, aku mau kamu jaga Refa ya. Jangan buat dia bersedih. Jangan buat dia terluka.”
“Nia, janganlah kamu berbicara seperti itu. Kita akan berkumpul sama-sama lagi. Aku, kamu dan juga Refa. Aku yakin kamu akan sembuh, sehat seperti sedia kala.”
Perempuan itu sudah amat payah. Nafasnya terasa nyeri karena penyakitnya, namun ia terus memaksa untuk berbicara.
“Kita gak pernah tau, batas akhir hidup kita kan mas? Aku cuma mau berpesan, siapa tau umur aku ga sampai mas. Aku sayang banget sama kamu, sama Refa, tapi kalau Allah lebih sayang sama aku dan meminta aku buat pulang lebih dulu, kita bisa apa? Satu yang pasti mas, aku selalu mencintai kalian. Sampai kapanpun. Doa’in aku ya.”
Setetes air mata pak Darma jatuh menetes. Ia teringat percakapan terakhir dengan istrinya sesaat sebelum operasi pengangkatan tumor di rahim sang istri dilakukan. Karena setelah itu, Nia dinyatakan meninggal dunia. Meski sudah lima tahun berlalu, Pak Darma masih sangat hafal bagaimana raut wajah terakhir mendiang sang istri. Tersenyum meneduhkan, sambil mengeratkan tangannya ke arah cincin pernikahan mereka, yang tidak pernah ia lepas selama ia hidup.
“Kamu apa kabar disana? Anak kita tumbuh cantik, persis kamu.” Pak Darma mengelus foto Nia yang tersenyum bahagia sambil memangku Refa kecil.