“Apa disini ada Refa Anandita?” tanya Fa’i tiba-tiba dengan pengeras suara di tangannya.
Semua jama’ah terheran dan saling menengok mencari siapa yang dimaksud Ustadz Fa’i dedepan sana. Refa terkejut, namun ia tetap diam terduduk ditempatnya.
“Kak Fa’i ngapain manggil kamu, Ref? tanya Fahma yang juga terkejut. Menoleh menatap dengan tatapan menyerobok penuh, saking lebarnya membuat dua bola mata Fahma bulat terlihat jelas.
“Refa Anandita bukan cuma aku Fah,” jawabnya pelan. Mencoba tetap santai dan tidak merasa kegeeran. Lagipula, untuk apa kakak dari sahabatnya itu memanggil namanya ditengah ratusan jama’ah.
Beberapa detik terasa lengang. Tidak ada satupun jama’ah yang mengetahui siapa gerangan Refa Anandita. Pemandu acara yang sudah di bisiki oleh Fa’i terlihat resah. Karena seharusnya Fa’i menjawab pertanyaan jama’ah, bukan menyebutkan nama seorang akhwat ditengah forum dengan ratusan orang seperti yang baru saja ia lakukan.
“Refa Anandita, sahabat adik saya Fahma. Apakah ada disini?” tanya Fa’i sekali lagi.
Fahma menoleh, ia meminta Refa untuk mengangkat tangannya.
“Mohon maaf untuk jama’ah yang lain, tapi saya harus memberi tahukan kabar ini. Apakah ada Refa disini?” lanjut Fa’i. Suara laki - laki itu tampak memberat. Ada deru memburu saat menyebut ulang nama Refa. Ada sesuatu yang tidak bisa ditunda untuk disampaikan. Sesuatu yang harus segera gadis itu tau.
Kabar apa? Refa menerka, entah kenapa tiba-tiba hatinya ikut terasa abu, mengharu. Masih dengan tanya dalam otaknya yang berselebaran acak, ia memutuskan untuk mengangkat sebilah jemarinya tinggi.
“Refa disini kak,” seru Fahma kencang.
Fa’i, para pengisi di podium, dan banyak jama’ah menoleh ke sumber suara. Mereka melihat sebilah tangan teracung dari seorang akhwat dengan pashmina hijau. Sudah pasti, itu adalah Refa Anandita.
“Jantung papah kambuh, Ref. Sekarang Papah di rumah sakit,” ujar Fa’i dari mulutnya langsung, menjauhkan mic -alat pengeras suara- itu dari mulutnya, sambil menatap manik mata hitam Refa yang menunjukkan keterkejutan dari kejauhan.
Bak disambar petir disiang bolong, dada Refa seketika sesak mendengar itu. Gemetar sekujur tubuhnya. Sudah cukup lama, penyakit jantung yang diderita papahnya tidak muncul tapi kenapa pagi ini tiba-tiba kambuh, padahal baru tadi pagi ia melihat pak Darma segar bugar.
Karena keheningan jama’ah, suara Refa mampu terdengar jelas oleh Fa’i di depan sana, suara itu terdengar parau, bergetar, terdengar menahan tangis, “Rumah sakit mana?”
“Rumah sakit Alamanda” jawab Fa’i cepat.
Tanpa menunggu lebih lama, Refa berlari keluar masjid dengan pandangan berkabut sebab airmata yang menggantung. Tak ada yang dipikirkan dalam otaknya selain bagaimana bisa cepat sampai di rumah sakit dan melihat kondisi sang papah. Untuk kali pertama setelah melakukan kebiasaan baik menonaktifkan handphone berkali-kali saat kajian, ia menyesal kenapa tidak menengok handphone nya sedari tadi.