Sebuah nomor yang tidak dikenal menelfon nya. Berulang. Bukan tidak ingin mengangkat, kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk itu. Karena kini, ia tengah duduk dihadapan ratusan anak muda untuk mengisi kajian.
Belum lama dari beberapa panggilan tersebut, sebuah pesan dari nomor yang sama sungguh menarik perhatiannya karena tersemat nama Refa disana. Ia mengklik untuk melihat utuh isi pesannya.
Apa anda bersama Refa? Kalau iya, sampaikan papah nya masuk rumah sakit karena penyakit jantung nya kumat. Rumah sakit Alamanda kamar Dahlia nomor 3A. Segera kasih tau dia!
-BAGAS-
Fa’i terkejut, Pak Darma masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Ia memastikan sekali lagi kebenaran pesan tersebut. Setelah sang pengirim mengirim foto dimana pak Darma terbaring dengan pakaian pasien dan selang infus barulah Fa’i percaya. Ia meneruskan pesan itu pada Fahma. Mereka memang ada di tempat yang sama, tapi Fa’i tidak bersama Refa secara langsung. Namun, adiknya pasti disamping gadis itu, maka ia meneruskan pesan itu padanya. Sebab, selain itu ia juga tidak punya nomor Refa. Beberapa menit ia menunggu, pesan itu belum juga terbaca. Ia jadi gelisah sendiri.
“Bar,” panggil Fa’i pada pemandu MC disampingnya. Ia membisiki Akbar, untuk memberinya kesempatan berbicara dengan mic. Akbar mengangguk, dan memberikan Fa’i kesempatan berbicara. Namun terkejut saat Fa’i justru malah mencari seseorang, bukan menjawab pertanyaan yang sudah lebih dulu dijawab oleh Ustadz Ridwan.
Refa meneguk ludahnya, mengapa bisa papahnya bersama dengan Bagas. Usai mendengar penjelasan lengkap dari Fa’i mengenai info yang ia dapatkan, raut Refa berubah sedikit lebih tegas. Seolah ia sedang mempersiapkan diri agar tidak terlihat cengeng di hadapan laki-laki itu, karena berdasarkan cerita Fa’i, Bagas—laki-laki brengsek yang pernah membuatnya begitu terluka itu tengah menunggu mereka di rumah sakit.
Refa dan Fahma pun sudah mengecek handphone nya, benar ada satu panggilan tak terjawab dari Pak Darma disana, mungkin sebelum benar-benar tidak sadar, Pak Darma lebih dulu menelfon keduanya. Juga belasan panggilan dari Bagas yang hanya ada pada HP Fahma, karena Refa sudah lama memblokir nomor itu dari Hpnya.
“Kamar Dahlia nomor 3A,” ucap kencang Fa’i saat melihat Refa bergegas turun dan berlari melewati lorong rumah sakit. Refa mengangguk dan kembali berlari. Kali ini, ia sudah tau kemana arah kaki nya diarahkan.
Mereka sampai di rumah sakit, dengan tergesa saat mobil belum terparkir sempurna, Refa sudah lebih dulu melesat meninggalkan Fahma dan Fa’i. Padahal, Fa’i belum memberi tahu dimana kamar Pak Darma di rawat. Maka, dengan cepat ia pun berlari menyusul Refa untuk memberi tahu nya.
“Kak Fa’i, jangan lari-lari. Tungguin ...” pekik Fahma yang ikut berlari mengejar. Bahkan Fa’i lupa, jika mereka datang bertiga, bukan hanya dirinya dan Refa.
“Sini, Fah. Lama banget kamu masa, kegedean pipi ini kayaknya,” ia merangkul adiknya yang terlihat ngos-ngosan disampingnya dan menjawil pipi chubby nya pelan.
“Kak Fa’i ini loooh... ”
“Fah, tadi ada Adit loh. Cakep ya sekarang? Udah baca CV nya belum?”
Semu merah pada pipi Fahma terlihat, ia melepas rangkulan Fa’i dan berlari mengejar Refa. Mengabaikan pertanyaan yang spontan saja membuatnya menjadi salah tingkah sendiri. Meninggalkan Fa’i yang sekarang sedang tertawa melihat reaksi lucu adiknya itu. Bisa-bisanya adiknya ternyata dicintai oleh sahabatnya sendiri. Ckckk, yang sebentar lagi mungkin akan naik pangkat menjadi adik iparnya.
Fa’i jadi mesam-mesem sendiri, ia pun berjalan cepat menyusul dua gadis sholihah yang sudah lebih dulu berlari.