“Kak Fa’i kenapa ga pernah bilang kalo kaka itu calon suami nya Refa? Aku baru tau loh, Refa juga ga pernah bilang ke aku,” tutur Fahma pada Fa’i saat keduanya diluar ruangan, yang tengah menunggu dokter memeriksa keadaan Refa.
“Panjang jelasinnya, Fah. Nanti ya, kaka agak pusing,” ucap Fa’i sambil memijat pelipisnya. Ia memang tampak sedikit kacau.
“Eh, mau diperiksa sekalian dokter didalam kak?”
Fa’i menggeleng, ia melangkah menuju kursi tunggu tak jauh dari sana. Ia sadar atas kespontanan mengakui dirinya adalah calon suami Refa akan memberikan konsekuensi, siapa yang benar-benar tau kalau ternyata gadis itu ternyata tengah menjalani ta’aruf atau dalam tahap khitbah, lalu dengan tidak ia sadari, ucapannya baru saja itu akan merusak jalinan hubungan keduanya.
Atau, Refa akan membenci nya karena menyebarkan berita hoaks, Fa’i jelas masih ingat bahwa gadis itu pernah mengalami kepahitan kegagalan pernikahan sebelumnya. Mungkin, dia tidak akan mentoleransi kesalahan serupa.
Pintu ruangan terbuka, dokter yang menangani Refa keluar dari nya. Fahma dan Fa’i cepat melesat, mendesak informasi atas kondisi Refa.
“Apa ini Refa Anandita yang beberapa hari lalu dirawat juga di rumah sakit ini?” tanya Dokter pada keduanya.
Fahma mengangguk cepat, beberapa hari yang lalu keduanya memang membawa Refa yang pingsan ke rumah sakit Alamanda.
Dokter mengangguk kecil, “Pasti trauma nya terpicu, saran saya tolong beri ketenangan untuk Refa, jangan membahas sesuatu yang akan kembali memicu traumatik nya.”
Tidak lama setelah itu, Dokter pamit untuk memeriksa pasien yang lain. Fahma langsung masuk menemui Refa yang masih terpejam. Sedangkan, Fa’i setelah memastikan Refa baik-baik saja, ia langsung bergegas keluar menuju sebuah ruangan dimana pak Darma terbaring disana untuk memastikan apakah laki-laki itu telah selesai di tangani atau belum. Karena berdasarkan pemaparan Bagas tadi diawal, ia sudah membawa pak Darma sejak 3 jam yang lalu.
Sesampainya disana ternyata Pak Darma sudah siuman, kata Dokter keadaanya membaik. Perlahan, Fa’i memasuki ruangan dimana kini seorang laki-laki paruh baya tengah terbaring dengan mata kosong.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
Pak Darma menoleh, ia menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman, “Wa’alaikumsalam,” jawab nya.
“Gimana keadaan bapak?”
“Alhamdulillah, sedikit lebih baik nak Fa’i.”
“Maaf ya pak, pas bapak telfon tadi, saya gatau kalau bapak membutuhkan bantuan”
Pak Darma mengangguk, “Ndapapa, Refa mana?”
“Hmm... Refa ada urusan sebentar, jadi belum bisa kesini nemuin bapak. Nanti dia nyusul.”