Bagi seorang anak perempuan, sosok ayah adalah segalanya. Begitupun untuk Refa Anandita, gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu pun tahu jika seorang ayah adalah jatuh cinta pertamanya. Seorang ayah akan rela melakukan apapun yang ia bisa, untuk kebahagian anak-anaknya. Meski dengan kelelalahan yang tak biasa, meski harus berkorban lebih banyak dan berjuang lebih keras, asal anak nya bahagia, pasti seorang ayah akan melakukannya.
Maka, melihat cinta pertamanya terbaring tak berdaya membuat sebagain jiwanya ikut terluka. Ditambah lagi dua hari terakhir, usai mengetahui fakta tentang kakak sahabatnya yang tiba-tiba saja mengaku sebagai calon suami nya, nafsu makan Refa ikut turun.
Usai sepekan dirawat di rumah sakit, pak Darma sudah diizinkan pulang. Dokter mengatakan, kesehatan jantung pak Darma sudah cukup stabil, asal tidak dipancing dengan sesuatu yang mengagetkan dan juga tidak boleh terlalu kelelahan. Dengan gesit dan telaten, Refa mengurus sang papah di rumah. Tubuh Pak Darma yang sudah tidak lagi muda tampak masih lemas, menunjukkan bahwa ia memang belum seutuhnya pulih. Sepanjang hari setelahnya ia hanya menghabiskan waktu dengan berbaring di kamarnya.
Jendela kaca pak Darma juga sudah di perbaiki, Bagas menepati janjinya. Refa juga sudah tau, asal muasal penyebab kambuhnya penyakit jantung sang papah, dipicu oleh surat ancaman dari Mulan, istri Bagas yang dilemparkannya hingga jendela kaca kamar Pak Darma pecah. Sungguh, ia benar-benar sangat membenci laki-laki itu. Untuk apa meneror ia dan papahnya disaat jangankan berfikir untuk berusaha merebut Bagas dari keluarga kecilnya, jika hanya dengan kenangan yang tersisa sudah setengah mati membuat diri dan sang papah sedemikian terluka.
Refa mengetuk pintu kamar Pak Darma, mengintip setelahnya dan masuk perlahan saat melihat laki-laki itu menoleh dengan senyuman tulusnya. Senyuman yang sama saat berbulan-bulan merawat Refa yang hampir gila. Tidak berlebihan mengatakannya hampir gila, depresi akut yang ia derita memang sudah begitu dalam. Ia bahkan tidak ingat betul sudah melakukan apa saja saat masa-masa itu.
“Hay pah, makan dulu ya?” tutur Refa saat masuk ke kamar pak Darma, ia membawa semangkuk bubur dan segelas susu hangat.
“Duduk nak,” pinta Pak Darma pada putri tunggalnya.
Refa mengangguk, ia mengambil kursi di bawah meja dan menarik nya tepat disamping ranjang papah. Ia mengaduk bubur ayam itu pelan, untuk membuat kepulan asap panas berkurang. Refa mengambil sesendok bubur yang sudah ia pastikan tidak begitu panas, dan mengarahkannya ke arah mulut pak Darma. Berniat menyuapinya.
“Papah makan ya.”