Tujuh hari, seratus enam puluh delapan jam, sepuluh ribu delapan puluh menit sudah berlalu. Sejak kejadian di rumah sakit Alamanda satu pekan lalu, Fa’i dibayangi sesuatu. Membuat kefokusannya buyar juga objek berfikirnya yang menjadi acak tak karuan. Aktivitasnya juga jadi banyak yang tak berjalan mulus. Sepekan terakhir, ia benar-benar merasakan bagaimana perasaan galau yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
Kala mengisi kajian via streaming radio beberapa hari lalu misalnya, banyak sekali hal-hal yang keluar dari pembahasan alur kerangka kajian yang sudah ia susun rapih. Atau saat sedang nongkrong santai bersama dengan teman-teman SMA nya, yakni Koko, Aden dan juga Adit pasti seringkali Fa’i tampak tidak fokus, banyak melamun dan juga tidak bergairah.
Setelah disinggung oleh Koko—sahabatnya yang usianya paling tua diantara mereka, barulah ketahuan duduk permasalahan yang membuat sepekan terakhir Fa’i terasa berbeda, karena ternyata laki-laki alumnus universitas Al-Azhar Kairo Mesir itu memang sedang galau perkara cinta. Sedikit dipaksa, Koko mengajak Fa’i bertemu untuk membicarakan keresahan sahabat nya itu. Siapa tau, dengan pengalamannya yang sudah lebih dulu menjalani biduk rumah tangga, mampu memberikan solusi atau masukan yang setidaknya membuat laki-laki itu tenang.
Duduk lah mereka berdua di sebuah coffe shop. Sengaja memilih waktu pagi agar pikiran masih fresh. Lima belas menit yang lalu, Fa’i mengungkapkan keresahannya. Tentang spontanitasnya saat mengatakan ia adalah calon suami seorang perempuan hingga hal tersebut terdengar juga oleh ayah dari perempuan tersebut. Sampai keresahannya mengenai fakta mengenai perempuan itu yang menjadi pusat pikirannya berhari-hari lamanya. Perempuan itu pernah depresi yang cukup parah.
“Kalau gitu, kenapa ga beneran di wujudkan aja? Selintas saya lihat waktu di Masjid Al-Haq dan dari cerita kamu barusan dia perempuan baik-baik,” ucap Koko pertama kali setelah sedaritadi diam menyimak.
“Dia punya traumatik sama masa lalu nya, Ko. Itu yang bikin saya ragu. Kamu pernah denger larangan untuk tidak berhubungan dengan seseorang yang masih belum selesai dari masa lalu nya? Saya takut kalau dipaksakan, semua gak akan berakhir baik.” Fa’i menerawang, memandang langit choffe shop dengan pandangan kalut. Sepertinya fakta itu memang benar-benar menyita perhatiannya selama ini.
Laki-laki berkulit putih dengan tubuh kekar itu Koko, sahabatnya. Ia menyeruput secangkir kopi terlebih dahulu, sebelum menjawab pertanyaan laki-laki bermata sayu didepan nya.
“Hm, gini Rifa’i. Kalau ente cari pasangan yang bener-bener sempurna, yang baik-baik aja masa lalu nya, yang sekarang masyaallah banget akhak nya, gak bakal mudah di carinya. Satu banding seribu lah. Yang ane denger dari ente kan, ni akhwat bae, good looking juga, pendidikannya juga sejajar sama ente, bahkan udah 7 tahun lebih sahabatan sama adek ente sendiri. Kurang nya cuma satu ni, ibaratnya kan, dia punya masa lalu yang suram, ya kalau emang dia punya luka masa lalu, ya ente harus jadi obat nya lah Fa’i. Sembuhin dia, bisa dah ente bahagia sama-sama setelah nya.” Koko mengambil satu piring croffle selai madu miliknya, memotong sudut bagian pinggir dan memasukan nya kedalam mulut. Membuat suasana pertemuan pagi itu tampak tidak terlalu menegangkan, dibuat sesantai mungkin. Ia mengunyah perlahan, sambil menatap ke arah Fa’i yang duduk dengan bola mata yang berkedip berkali - kali.
Fa’i mendelik, andai semudah itu. Mendengar cerita Fahma dan berkali-kali mengulang tulisannya mengenai Refa di email, membuat ia sedikit banyak tau gadis itu punya luka masa lalu yang cukup dalam. Bagaimana mungkin Koko menyuruhnya untuk menjadi obat bagi Refa, saat dirinya sendiri belum pernah dekat dan menjalin hubungan dengan seorang perempuan manapun. Harus bagaimana mengobatinya?
Tiba-tiba Koko tertawa, “Ente ini ya, Fa’i. Boleh lah, dari sisi akademis dan agama ente jago, jago banget malahan, tapi masalah beginian aja kok bingung, Rifa’i ... Rifa’i ...”