Berbicara tentang takdir, terkhusus tentang perkara jodoh, tampaknya pembicaraan ini akan sangat panjang dan tidak akan pernah ada habisnya. Jodoh itu adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah. Cepat kah dia, atau justru kita harus lebih bersabar untuk mendapatkannya. Seringkali, manusia memang mengkhawatirkan pada apa-apa yang seharusnya ia merasa tenang. Setiap senti pergerakan di muka bumi ini kan memang sudah berjalan dengan skenario sang Ilahi. Sayangnya, manusia kadang khilaf, hingga ia merasa risau pada perkara yang Allah telah jamin.
Kalau ngomongin jodoh. Memang bervariatif sekali. Ada yang belum genap usia nya memasuki angka dua puluhan, eh ternyata jodoh sudah menghampirinya. Tanpa bersusah payah mencarinya bahkan, yakni di jodohkan oleh orangtuanya. Ada yang harus berkali - kali ikhtiar mencari rekomendasi sana dan sini hanya untuk menemukan sang pujangga hati. Ada pula yang harus terpaksa menghabiskan waktunya dengan terus menyandang status single padahal usianya sudah memasuki angka lima puluh tahun. Saat ditanya kenapa tidak menikah? Ia hanya menjawab, untuk apa? Jika sendiri saja sudah bahagia. Ckckck..
Bahkan ada, orang-orang yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan mereka, tapi naasnya sebelum sampai ijab kabul terucap ternyata jodohnya bukanlah sang pujaan hati, melainkan maut. Satu dari sepasang kekasih itu meninggal tiba-tiba.
Jodoh adalah rahasia dari Allah. Itulah yang berkali-kali ditanamkan dalam diri Refa Anandita saat kegalauan perkara jodoh menghampiri. Tidak ada yang salah dari angka dua puluh tujuh, tidak ada yang salah jika hari ini ia belum menikah. Ia juga tidak mempermasalahkan harus dipergunjinkan para tetangganya, mencibir bahkan terang-terangan membandingkan dirinya dengan anak-anak mereka yang sudah laku, dan menghasilkan cucu - cucu yang menggemaskan.
“Neng Refa, makanya jadi perempuan jangan pemilih. Jadi susah kan jodohnya. Si Yati juga hajar aja legowo tuh, nerima pinangannya anak pak Haji Sofyan. Biar kata orang gembrot juga, tu anak menghasilkan juga. Udah dua lagi. Bahagia mereka sekarang.” Begitu kata Ibu Jakia saat melihat Refa belanja di tukang sayur keliling. Membandingkan dirinya dengan Yati anaknya yang sekarang sudah memiliki dua anak gendut, persis bapaknya.
Refa jadi teringat kejadian lima tahun lalu, Yati anak Ibu Jakia yang menjadi objek perbandingan dengan dirinya itu menangis meraung-raung saat mengetahui ia harus menikah dengan seorang pria gendut dengan bobot nyaris menyentuh angka 190kg itu. Ia bahkan sampai melempar batu ke jendela rumahnya sendiri saking tidak mau nya ia menerima perjodohan itu.
Kejadian itu terputar begitu saja di otak Refa. Ia menarik segaris senyum di wajahnya. Bukan senyum mengejek, tapi senyuman tulus sebagai respon ia menghargai ucapan bu Jakia yang mungkin niatnya baik untuk dirinya.
“Atuh neng Refa jangan cengar-cengir aja. Coba atuh dicari. Jangan sampe jadi perawan tua, atau jadi depresi lagi, ” lanjut Bu Jakia yang seakan tidak senang dengan respon Refa yang demikian tenang.
Tukang sayur keliling yang melipir setiap pagi itu memang selalu ramai dengan ibu-ibu. Ditempat itulah mereka juga lebih banyak beriteraksi. Saling bersapa, menceritakan hari-hari kemarin apa saja yang mereka dapatkan. Terdengar positif, namun seringkali keadaan itu membuat banyak orang berlomba menceritakan bagaimana bahagianya mereka, hingga akhirnya mencoba membandingkan bahkan mengklasifikasi si A, B, C bahagia karena ini dan itu, dan disisi lain di F, G, H tidak bahagia karena alasan ini dan itu. Singkatnya, mereka seringkali ghibah. Bergosip ria.