Gedung biru Perusahaan Digital Syariah itu tampak ramai. Sudah waktunya pulang jam kantor. Beberapa karyawan mulai keluar satu persatu dari dalam gedung. Seorang laki-laki berdiri dari salah satu tembok gerbang, memperhatikan dari celah pintu pagar, mencari seseorang. Ia memang sengaja datang ke kantor digital sore itu. Sejak semalam ia sudah memutuskan untuk mengakhiri semua. Laki-laki itu berdiri dengan ransel besar di pundaknya. Sebilah tangannya ia masukkan kedalam saku jaket hijau army yang ia kenakan. Sementara satu tangan yang lain tampak menggenggam erat amplop biru panjang. Ia hendak mencari Fahma.
Lima belas menit ia menunggu, gadis yang ia cari akhirnya keluar dari kantor. Fahma berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor miliknya. Tidak ada seseorang yang sebenarnya ingin ia lihat. Sepertinya, Refa tidak pergi ke kantor hari ini. Motor hijau matic Fahma melaju, menuju gerbang pintu keluar. Bagas segera merapat, tak ingin Fahma terlewat pergi. Ia harus menitipkan surat itu padanya.
“Fahma ...” pekik Bagas kencang. Fahma yang memang sedang membenarkan helmnya menoleh, matanya ikut memicing untuk memperjelas objek pandang. Ia langsung membulat saat Bagas dengan cepat berada didepannya.
“Heh? Kak Bagas?” ungkapnya.
“Refa ga masuk?” tanya Bagas saat melihat tidak ada Refa di jok belakang motor hijau itu. Biasanya, dua gadis itu akan saling bergantian menjadi penumpang kursi jok belakang. Kadang Fahma yang mengendarai, kadang juga Refa.
Mendengar pertanyaan itu Fahma cukup terdiam. Atas beberapa hal yang terjadi dalam waktu dekat ini, rasanya lebih baik memang jika kak Bagas tidak berusaha untuk masuk kedalam kehidupan Refa lagi. Gadis itu tau, betapa susahnya perjuangan Refa untuk bisa bangkit dari keterpurukan yang ia hadapi karena laki-laki ini.
“Kak Bagas udah ya, jangan gangguin Refa lagi. Kaka tau kan sumber trauma dia ada dimana. Aku gak mau kak Refa terus - terusan tersiksa kak,” jawab Fahma, gadis yang biasanya tampak polos itu menatap ke arah Bagas dengan tatapan benci. Pupil matanya membesar, ekspresi wajahnya juga tampak masam. Ia juga tampak ingin menjalankan motornya untuk segera pergi berlalu dari hadapan laki-laki yang merupakan senior nya saat di kampus. Namun, dengan cepat Bagas menahannya. Spion motor itu ia pegang kuat.
“Gua gak akan gangguin dia lagi Fah, gua janji. Tapi jawab pertanyaan gua dulu, apa Refa sekarang bahagia? Maksud gua, setelah apa yang terjadi diantara gua sama dia?” tanya Bagas. Laki-laki itu memandang serius. Pandangan yang sama saat melihat Bagas menatap Refa.
Fahma menerawang langit biru. Tampak menimang-nimang sesuatu. Untung saja motornya tidak berhenti di depan jalan persis yang mungkin saja akan memicu antrian.
“Dengan semua yang sudah terjadi dengan Refa, aku cukup kecewa dengan pilihan kakak yang tiba-tiba aja balik muncul di kehidupannya dia. Ka Bagas gak tau apa, susahnya Refa buat lupain kejadian yang buat dia trauma setengah mati itu. Kok gampang banget gitu loh buat muncul lagi, hah?” Fahma sinis. Ia jadi ikut emosi sendiri. Mencoba berandai - andai jika ia ada di posisi Refa.
“Gua titip ini ya buat Refa, tolong sampaikan gua minta maaf untuk semua yang udah gua lakuin.” Bagas menyodorkan amplop biru itu kepada Fahma. Gadis yang masih emosi itu jelas saja tidak mau mengambil amplop itu. Siapa yang menjamin, isi nya tidak akan mebuat Refa terpicu dengan traumatiknya.
“Isinya permintaan maaf, dan ucapan pamit. Gak lebih, lo boleh baca kalo ga percaya,” tambahnya, setelah melihat keraguan serta ketidak percayaan pada wajah Fahma. Gadis itu juga tidak bergeming.
“Fah, gua nyerah. Gua mau ikhlasin Refa, gua mau coba ngejar kebahagiaan gua sendiri. Lo juga tau Fah, cowo bernama Fa’i itu? Refa udah menemukan kebahagiaannya kan? Gua gak akan rebu kebahagiaannya itu. Isinya cuma permintaan maaf,” ucap Bagas lagi.