Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #31

Melawan Restu

Setelah mendapat surat dari Bagas beberapa hari yang lalu. Refa terlihat lebih banyak tersenyum. Ia mulai kembali menjalani hidup sebagaimana biasanya. Berkutat dengan pekerjaan nya, menemani pak Darma check-up ke Dokter, dan sesekali jalan-jalan bersama dengan Fahma.

Hari itu, usai pulang bekerja, mereka menyempatkan diri untuk ke Mall dekat kantor nya. Kata Fahma, dari raut wajah keduanya menunjukkan tanda tanda lelah, mereka harus secepatnya refreshing untuk sekedar melepas penat. Padahal, menurut Refa ia merasa lebih baik beberapa hari ini. Atas inisiatif Fahma itu, ditambah iming-iming akan di traktir, Refa pun akhirnya menerima ajakannya untuk berjalan-jalan sebentar.

Kini mereka duduk menanti pesanan datang, sebagai seseorang yang di bayari makan, Refa pasrah saja atas makanan yang di pesankan Fahma, toh selera keduanya hampir sama. Beberapa lama menunggu, pelayan yang mengantarkan makanan datang, satu persatu makanan pun di sajikan.

“Loh, Fah.. Kok pesennya banyak? Kan kita cuma berdua.”

Fahma mendelik, “Eh, kata siapa berdua? Nanti ada satu orang lagi kok”

“Siapa?” tanya Refa.

“Nanti juga tau, hee. Nah, itu dia orangnya,” ucap Fahma yang mulai mengangkat sebilah tangannya kearah seorang lelaki yang berjalan mendekat. Refa ikut menoleh, lalu terdiam setelahnya.

Seseorang itu Fa’i, laki-laki yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Refa bukanlah tipikal orang yang mudah jatuh hati, setelah mendengar dari Fahma dan sang papah bahwa Fa’i mengakui dirinya sebagai calon suami, hal itu membuat Refa tak nyaman. Meski berulangkali meyakinkan diri untuk tidak geer, dan positive thingking bahwa apa yang Fa’i lakukan hanya sekedar untuk mengusir Bagas, menolongnya saat itu. Tetap saja, sisi curiosity – heran nya meronta ingin dipenuhi. Beberapa waktu belakangan, ia mulai sibuk mencari tau tentang Fa’i dari media sosial dan berbagai berita yang menghadirkan sosoknya.

“Kok kamu ga bilang sih, kakak kamu ikutan juga,” bisik Refa pada Fahma yang justru hanya cengengesan.

“Sini kak Fa’i, duduk,” pekik Fahma riang, sambil menarik kursi restoran di sampingnya.

Fa’i terdiam dihadapan mereka, lurus menatap manik mata Fahma. Seolah ada yang salah disini.

“Katanya, motornya ga bisa jalan? Kok malah nyuruh jemput di Mall?”

Fahma nyengir, “Motornya emang ga bisa jalan kak, kan lagi di parkir. Serem dong, kalo jalan sendiri. Ga bohong dong Fahma... ”

Wajah laki-laki itu tampak sebal, “Yaudah, kaka pulang sekarang.”

“Loh, kok pulang kak, ini udah di pesenin makanan banyak kayak gini. Mubadzir tau, kan kaka sendiri yang bilang kalau sama makanan itu—” belum usai Fahma menjelaskan ia malah tersenyum lebar melihat kak Fa’i yang sudah bergerak terduduk di samping nya. Seakan mengerti apa yang dimaksudkan dirinya.

“Gitu dong,” ucap Fahma.

“Eh, ayo dimakan Refa, Kak Fa’i jangan malu-malu. Fahma yang traktir kali ini” lanjut Fahma. Gadis itu tampak riang sekali. Berbeda dengan dua orang yang duduk di meja yang sama dengannya itu. Keduanya tampak merasa tertekan.

Refa merutuk, ia beberapa kali melirik tajam pada Fahma. Bisa-bisanya ia justru dengan sengaja mempertemukan dirinya dengan Fa’i setelah kesalah pahaman yang terjadi diantara mereka. Semenjak hari itu, saat di rumah sakit, ia memang tidak pernah lagi melihat Fa’i. Padahal biasanya, sebelum kesalahpahaman tercipta, laki-laki itu akan mudah di temui, entah saat mengantar Fahma ke kantor, atau saat menjemput Fahma yang sering kemalaman di rumah Refa. Hal itu membuat perspektif Refa seolah benar, laki-laki itu memang tengah menjaga jarak dengan nya.

Lihat selengkapnya