Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #32

Saya Mau Mengajukan Ta'aruf

Meski Refa sudah berangsur tenang, tapi beberapa pegawai dan pengunjung restoran masih mengarahkan pandangan mata mereka pada keduanya. Untung saja, Fahma datang dan menegur mereka semua.

“Ini ada apa sih? Kok kamu pake earphone? Itu bukannya punya kak Fa’i ya?” tanya Fahma yang langsung duduk di kursi nya sambil bergantian melihat Refa dan Fa’i. Fahma melihat keadaan yang aneh, Refa yang tiba-tiba memakai earphone milik kakaknya dengan raut wajah seperti orang habis menangis juga orang-orang yang ramai mengarahkan pandangannya pada meja yang di tempati keduanya.

“Ga ada apa-apa, Fah” jawab Fa’i cepat. Karena Refa, jangan kan untuk menjawab pertanyaan Fahma, jika ia tidak mendengar suara Fahma karena earphone di telinganya.

Refa baru akan bergerak membuka earphone hitam itu, tapi tangan Fa’i memberikan kode untuk menunggunya sebentar lagi. Lagu yang memicu traumatik itu belum benar-benar habis.

“Ihh, Fahma ga ngerti. Jelasin kak...”

Fa’i menghembuskan nafas, “Tadi, Refa nangis, trauma nya muncul gara-gara lagu ini.”

Baru saja Fahma hendak memasang telinga, untuk mengetahui lagu apa yang di maksud sang kakak, lagu itu sudah habis dan berganti dengan lagu lain.

“Ihh, lagu apa kak? Udah beresan...”

“Ya, kakak ga tau judulnya, Fah”

“Liriknya gimana?”

"Kaka ga hafal, Fah.”

Fahma mendecih, “Kaka ini loh, terus Refa gimana?”

“Ya itu, pakai earphone buat nyamarin suara nya.”

“Kakak yang masangin?” Fahma bertanya sekali lagi dengan binar mata yang menyala. Fa’i tidak menjawab, ia hanya memutar bola mata nya, malas.

 “Cieee...” Fahma mencolek lengan Fa’i yang kini mulai kembali memakan makanan di depannya. Fa’i diam, mengacuhkannya.

Sedari tadi, Refa hanya melihat interaksi kedua adik dan kakak dihadapannya, tanpa tau apa yang sebenarnya mereka katakan. Ia hanya tidak ingin, lagu itu kembali membuat bayang kenangan nya kembali hadir, dan mengacaukan makan malam ini. Tentunya ia tidak ingin merepostkan sepasang adik dan kakak ini.

Fahma berjalan mendekati Refa, ia melepas earphone itu dan menurunkannya di leher Refa. Gadis itu tersenyum, “Udah ga ada lagu nya, Ref. Semua akan baik-baik aja kalau ada aku sama kak Fa’i. Percaya ya sama kita”.

Refa mengangguk sebagai respon. Semua akan baik-baik saja, ia mengunci kalimat itu dan membenarkan nya dalam hati. Ia harus kuat, ketakutannya harus ia hadapi. Ia harus mulai bijak terhadap tauma yang ia miliki.

“Aku ke toilet dulu ya,” lirih Refa pada Fahma dan Fa’i yang sudah mulai kembali menikmati hidangan yang ada di meja.

Setelah itu, ia pamit ke toilet. Ia hanya butuh sedikit jeda. Duduk dihadapan Fa’i membuat alur pernafasannya tidak sebebas biasanya. Apalagi setelah aksi heroicnya yang memasangkan earphone bernadakan suara Al-Qur’an ke telinganya. Jantung nya jadi semakin berdebar tidak karuan.

Kini, Fahma dan Fa’i berdua disana. Fahma menoleh, memastikan Refa sudah berjalan menjauh, ia mulai menyenggol Fa’i sebagai kode.

“Kak Fa’i, tadi udah ngomong serius tentang keputusan ta’aruf sama Refa belum?”

Fa’i tersedak, ia dibuat batuk karena ucapan Fahma, ia mengambil segelas air untuk meredakannya. Kenapa adiknya ini seringkali gamblang sekali mengatakan hal-hal sensitif seperti itu.

“Apaan sih Fah,” elak Fa’i. Ia masih tampak acuh. Asyik memakan makanannya.

“Aku denger, obrolan kaka sama ibu semalam. Makanya aku bantu buat melancarkan misi kaka. Tadi aku ke toilet kan lumayan lama, kirain kaka udah ngomongin itu sama Refa.”

Semalam, ia dan ibu memang mengobrol serius tentang perkara hubungannya dengan Refa. Membicarakan banyak hal berdua. Termasuk dengan rencana kedepan Fa’i untuk menseriusi ucapan spontannya saat di rumah sakit. Padahal, keduanya sengaja mengobrol di ruang tengah di jam malam, saat semua penghuni rumah sudah tidur. Tidak menyangka, ternyata Fahma mencuri dengar pembicaraan itu.

Fa’i lantas menggeleng, “Kayaknya belum ada jawaban dari istikharah kaka Fah, ya— kita tunggu jawaban terbaik dari Allah ya.”

Fahma disampingnya langsung memasang wajah heran. Keningnya berkerut, mulutnya berkedut, siap untuk berkomentar. “Kok lama? Aku aja istikharah, besoknya udah bisa kasih jawaban. Mana sekarang dipercepat lagi prosesnya jadi bulan depan. Aduh kak, rasanya aku kayak belum siap deh harus menikah secepat ini,” keluh Fahma. Gadis itu tanpa sadar memperbesar volume suaranya.

Tanpa disadari, Refa ada dibelakang mereka dan mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fahma.

Lihat selengkapnya