Apakah syawal tahun ini akan jadi syawal yang berbeda dari dua tahun belakangan? Apakah tahun ini ia akan menyudari masa-masa penuh cibiran dan gunjingan para tetangga? Apakah ia akan benar-benar melihat binar bahagia dari sang papah karena akan segera melihat Refa akhirnya menikah? Tidak lagi menjadi gadis dua puluh tujuh tahun yang seakan menanggung beban karena tak kunjung menikah?
Sepanjang malam, Refa terus terbangun dari tidur lantaran kejadian malam ini. Kata-kata lelaki lulusan Mesir itu telak mengganggu tidurnya. Membuatnya terjaga dengan segala pemikirian yang tidak bisa ia jawab seorang diri. Ia terlampau bahagia.
Refa menerawang, kadang memukul pipi nya berulang, memastikan sekali lagi bahwa ia tidaklah sedang bermimpi. Ia membaringkan diri ke samping, memeluk guling. Memaksa agar matanya tetap terpejam. Namun, beberapa menit kemudian ia lekas bangun dan kembali meraih Hpnya.
Sebuah pdf terlampir yang dikirimkan sahabatnya itu benar-benar mengusik ketenangan jiwanya. Pdf itu memiliki nama file “CV Ta’aruf Fa’i”, selama dua jam belakangan usai mendapatkan kiriman file dari Fahma, ia berulang kali membaca nya. Ia hanya tidak percaya kakak dari sahabat nya itu mau berta’aruf dengan dirinya -gadis tua yang punya traumatik masa lalu- disatu sisi ia bisa saja mendapatkan perempuan mana pun yang ia sukai.
Diusia nya yang baru menginjak dua puluh tujuh, laki-laki itu sudah menyelesaikan strata tingkat kedua di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dengan puluhan buku yang sudah ia tulis. Belum lagi karya nya yang lain. Fa’i juga adalah seorang hafidz, saat kenaikan kelas 2 sekolah menengah pertama ia sudah menyelesaikan hafalannya. Pun begitu dengan Fahma. Belum lagi, kepiawaiannya berbicara, hingga kini setelah kepulangannya ke Indonesia, laki-laki tampan itu lebih dikenal dengan sebutan Ustadz Fa’i dan sering diundang untuk menjadi pembicara di mana-mana.
Sedangkan Refa, -gadis itu mulai menerawang tentang dirinya sendiri- diusia nya yang juga dua puluh tujuh tahun ia memang juga sudah menyelesaikan strata tingkat dua di sebuah Universitas Negri di Bogor, ia kini juga bekerja di perusahaan berbasis digital syariah dengan posisi yang cukup strataegis namun, luka traumatik yang hampir membuatnya gila, wajah nya yang tidak cakep-cakep amat, belum lagi dengan segala kekurangan lainnya yang ia punya.
“Ahhhh, ini beneran gak si?” pekik Refa seketika. Membuyarkan lampunannya sendiri. Guling yang tanpa sengaja sudah ia lemparkan ke sisi kasurnya, ia raih kembali. Guling itu kembali ia peluk erat. Ia memutuskan untuk kembali terpejam. Namun, baru beberapa menit berselang, Refa kembali membuat guling itu menjauh, bahkan terjatuh di lantai. Gadis itu meraih benda pipih yang ia letakkan diatas lemari disamping kasurnya. Ia kembali menyusuri kata demi kata yang tertoreh pada layar HP nya. CV itu dibuat tidak main-main, betapa ia terlihat benar-benar merencanakan hidupnya dengan baik. Tiba-tiba saja Refa kembali merasa insecure.
“Tidak pernah pacaran?” Refa membaca keterangan yang ditulis Fa’i pada file pdf nya. Refa kembali berkutat pada pemikirannya, bagaimana laki-laki setampan Fa’i tidak pernah berpacaran? Jika paras yang menjadi alasan, sungguh Fa’i adalah tipe laki-laki yang tidak akan mungkin ditolak jika ia mengungkapkan perasaanya kepada perempuan manapun. Apa memang sejak awal ia sudah benar-benar merencanakan hidupnya dengan begitu baik, hingga tak sedikitpun ia tertarik melanggar larangan Rabb tentang pacaran yang merupakan hubungan mendekati zina itu?
Refa kembali membandingkan dengan dirinya sendiri. Meski tidak melakukan hal-hal yang melewati batas, menjalani hubungan 5 tahun dengan status pacaran adalah sebuah kesalahan. Baru beberapa bulan ini lah, usai banyak mengikuti kajian dan seminar keislaman, ia tau pacaran itu haram. Lagipula, usai kejadian kegagalan pernikahan yang ia dapatkan dua tahun lalu, ia sama sekali tidak tertarik untuk menjalankan hubungan tersebut lagi.
Gadis itu kembali menjatuhkan diri di kasur, ia menghembuskan nafas berat. Bagaimana mungkin laki-laki sholeh seperti Fa’i mendapatkan perempuan yang baru hijrah seperti dirinya? Refa ragu, apa ia harus mengirimkan CV milikinya pada Fahma? Ia sibuk menerka, apa ketika Fa’i membaca CV miliknya justru akan sangat terlihat perbedaan nya. Ahh, pasti Fahma juga sudah menceritakan kepada Fa’i tentang bagas dan hubungan rumit yang telah terjadi diantara mereka.
Ia memilih untuk memejamkan mata untuk menetralisir pemikiran beragam yang berseliweran dalam otaknya. Sampai akhirnya, saat jam dinding kamar menunujukkan pukul 2 dini hari, gadis itu pun tertidur.
Untuk pertama kalinya pasca kejadian yang membuat ia begitu trauma dan depresi, Refa seringkali melindur menangis di setiap tidur nya. Tidak pernah absen barang semalam pun. Pak Darma bahkan Fahma menjadi saksi pada kebiasaan Refa yang satu itu. Namun, malam ini, gadis itu benar-benar tertidur. Tenang, tanpa meringkuk dan menangis seperti malam-malam sebelumnya.
Apakah kedatangan Fa’i dalam hidupnya akan membantu memulihkan traumatiknya?
***
Jika Refa tidak bisa tertidur saking bahagianya dengan kabar yang ia dapatkan. Begitupun juga Fa’i. Laki-laki itu bahkan seringkali tersenyum melihat sawang laba-laba di tepi langit-langit kamarnya sendiri. Kenapa bisa ia melakukan hal senekad itu tadi. Semalam ia tidur dengan begitu lelapnya. Tidak seperti sepekan terakhir yang membuatnya seringkali berfikir yang bukan-bukan. Ia juga sudah menjelaskannya kepada Fahma dari mulutnya sendiri. Adik nya itu ikut senang mendengar pernyataan ketegasan Fa’i. Bahkan Fahma saking senangnya, ia mereka ulang bagaimana Fa’i tampak begitu menawan mengatakan hal seberani itu kepada Refa sahabatnya.
Saking lelapnya, laki-laki itu merasa cepat sekali mentari pagi datang. Karena semalam Fahma sudah heboh mensyiarkan informasi bahwa dirinya sudah mengajukan ta’aruf kepada Refa di grup whasapp keluarga. Ayah dan ibu meminta bertemu pagi itu untuk membahasnya bersama.