Butuh waktu satu bulan lamanya untuk Fa’i benar-benar yakin. Refa dan Fa’i memang sudah bertukar CV, mereka pun kerap sesekali berkomunikasi tentang beberapa hal dengan perantara. Fa’i meminta Koko sahabatnya dan istri yang menjadi perantara mereka berdua. Selain karena pasangan itu telah lebih dulu menikah, Fa’i merasa bahwa Koko juga berkontribusi membuat hatinya yakin saat itu.
Dua pekan terakhir, Fa’i dan Refa memang jadi lebih sering bertemu. Hari pernikahan Fahma dan Adit akan segera berlangsung akhir bulan ini. Sebagai sahabat, tentu saja Refa rela berpayah-payah untuk turut serta membantu agar persiapan pernikahan sahabatnya berjalan lancar, terutama saat mendampingi Fahma yang seringkali grogi terus menerus. Meski sering bertemu, tetap saja interaksi antara dua sejoli yang sedang bertaaruf itu tidak lantas bebas tanpa penghalang. Di dalam Islam, laki-laki dan perempuan tetaplah menjadi asing bahkan meski sudah khitbah sekalipun, akad pernikahan lah yang merubahnya. Sesuatu yang sebelumnya haram, menjadi halal.
Dua pekan terakhir Fa’i juga semakin sering menata hatinya. Meyakini jika langkah yang ia ambil sudahlah benar. Refa perempuan baik, ia cukup tenang dengan fakta itu. Meski sering juga kekhawatiran akan traumatik masa lalunya akan kembali muncul, dan khawatir pula disaat itu ia tidak bisa menangani bahkan menjadi obat bagi kepedihan luka masa lalunya. Ia segera mengembalikan hal itu kepada sang pencipta. Berharap semuanya berjalan dengan lancar dan ia bisa menerima dan diberikan kekuatan untuk mendampingi Refa untuk terus bangkit.
Malam ini, Refa memutuskan untuk menginap dirumah Fahma. Dua hari lagi acara pernikahan sudah akan berlangsung, membuat Fahma jadi lebih sering uring-uringan karena grogi.
“Refa, kok aku makin deg-degan ya. Tinggal lusa acaranya, yaampun. Kok aku tiba-tiba jadi takut sendiri ya.” Fahma yang sedang duduk di ruang tengah memperhatikan lalu lalang beberapa orang dirumahnya. Rumah Fahma memang sudah cukup ramai sejak kemarin. Tenda-tenda mulai didatangkan, dan malam ini mulai dicicil untuk didirikan. Disampingnya ada Refa yang sedang sibuk mendata teman-teman kantornya, khawatir ada nama yang belum dikirim undangan pernikahan Fahma.
“Tarik nafas, terus banyak-banyak istighfar deh Fah. Kalau kata ustadzah Oki, ujian detik-detik pernikahan itu kan biasanya gitu. Kita dibuat ga yakin, ga tenang, bahkan ragu. Biasanya itu datang dari bisikin syetan tau, jadi coba tenangkan fikiran dan banyak-banyak dzikir,” ucap Refa menenangkan. Malam itu, Refa memilih menginap di rumah Fahma. Sahabatnya itu yang meminta agar Refa menginap malam ini. Sepekan terakhir Fahma jadi dag-dig-dug sendiri. Rasanya ia tidak sanggup menghadapinya sendirian.
Meski belum pernah merasakannya langsung, Refa tau pasti itu yang dirasakan oleh setiap wanita yang hendak menikah. Gadis itu kemudian mengulum sebuah senyuman. Baru saja sepersekian detik otaknya membayangkan bagaimana ia yang berada di posisi Fahma saat ini. Tentu lah ia akan merasakan hal yang sama. Sudah hampir satu bulan dirinya dan Fa’i menjalani proses ta’aruf. Dengan diperantarai oleh Koko sahabatnya Fa’i dan juga istrinya mereka sudah berbicara cukup banyak hal mengenai pernikahan. Hal-hal prinsip yang akan dibangun dengan pasangan, visi-misi dalam pernikahan dan banyak hal lain. Sejauh ini, ia merasa memiliki kecocokan dengan laki-laki yang merupakan kakak dari sahabatnya itu. Meski tidak dipungkiri, ia tetap saja perlu mawas diri, belum tentu harapan - harapan yang ia lambungkan tinggi berkebalikan dengan apa yang kak Fa’i rasakan.
Pada faktanya, memang tidak semua orang yang melewati proses ta’aruf akan berakhir pada haligai pernikahan. Banyak orang yang batal pada proses perkenalan atau ta’aruf seperti yang sedang ia jalankan, beberapa lainnya bahkan sudah khitbah—proses mengikat atau melamar didalam islam, namun ternyata juga bisa saja batal. Bahkan juga ada, yang segala sesuatunya sudah beres, bahkan persiapannya sudah 80 persen tinggal menunggu beberapa jam saja sampai akad terucap, bisa saja batal. Seperti dirinya.
Refa menggelengkan kepala. Tidak sepatutnya, ia kembali memikirkan Bagas. Laki-laki itu bahkan mungkin sudah benar-benar menemukan kebahagiannya dengan istri dan anaknya.
“Kok malah kamu yang bengong Ref,” tegur Fahma. Bahkan laptop yang ia pangku sudah berganti tangan, berpindah di pangkuan Fahma.
“Ini sampe mas Dodo ya ceklisnya?” ucap Fahma lagi. Kini, kesadaran Refa sudah seutuhnya kembali, ia akhirnya kembali mengambil laptop miliknya dari tangan Fahma.