Perkarangan rumah milik Fahma disulap menjadi begitu cantik. Tenda biru putih yang kokoh telah berdiri. Susunan kursi telah berjejer rapih. Membentuk barisan bershaf-shaf. Pagi itu semua persiapan untuk acara pernikahan Fahma telah siap. Suara nasyid, sholawat dan lagu-lagu islami diputar. Suasana menjadi sangat syahdu.
Pagi-pagi sekali Refa sudah datang, ia menepati janjinya. Gadis itu segera melesat menuju kamar Fahma. Ia pasti sedang rias disana. Kamar Fahma ramai, ada beberapa perempuan yang dikenali sebagai saudara sepupu Fahma mulai ikut bersiap. Mereka diminta untuk menjadi dayang-dayang menyambut para tamu. Refa terus berjalan sambil menyapa lembut orang-orang yang ada disana ia melangkah menju Fahma yang sedang memejamkan mata. Seorang mba-mba tukang rias sedang mewarnai kelopak mata gadis itu.
“Cantiknya ...” ungkap Refa, melihat Fahma dengan wajah full makeup. Makeup yang terasa begitu pas terlihat. Natural flawless denan nuansa nude. Cocok sekali dengan usianya yang masih muda.
“Refaa..” pekiknya, mata gadis itu masih terpejam. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Fahma langsung tau jika dia adalah sahabatnya. Ia kemudian mengintip dari sudut matanya, benar Refa sudah berdiri disampingnya dengan tatapan takjub nya.
“Mba Fahma jangan banyak gerak dulu ya, nanti setting makeupnya crack,” tegur mba-mba tukang rias. Mengingatkan karena Fahma malah tersenyum lebar saat melihat Refa datang.
“Eh, yaudah. Aku tunggu disitu ya Fah. Jangan banyak gerak dulu kamu,” ungkap Refa, tak lagi ingin membuat Fahma kehilangan kefokusannya. Ia memutuskan untuk duduk di tepi kasur Fahma dan mulai merias wajanya sendiri. Namun, baru saja ia ingin melekatkan foundation ke wajah nya, seorang perempuan kemudian menghampirinya.
“Mba, mba Refa bukan?”
Refa mengangguk.
“Sini saya makeup kan mba, mba terdaftar sebagai bagian dari keluarga jadi juga dapat fasilitas rias,” lanjut perempuan itu.
“Eh? Tapi saya ga biasa makeup tebel gitu mba, saya makeup sendiri aja ya.”