Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #37

Diantara Dua Kebahagiaan

Seorang yang Refa kenal sebagai kakek Fahma berdiri dihadapan semua tamu yang hadir. Barusan, seseorang yang menjadi pemandu memberikan kesempatan untuk keluarga pihak mempelai perempuan untuk memberikan sepatah dua patah kata untuk menyambut kedatangan rombongan pengantian pria. Maka, berdirilah sang kakek. Di tangannya sudah tergenggam sebuah microphone, alat pengeras suara. Kakek Fahma tampak masih tegap, meski rambut dan jenggotnya sudah memutih, sang kakek masih tampak gagah berdiri. Siap memberikan sambutannya.

Refa mengintip lagi dari celah hijab pembatas. Matanya berkerjap mencari seseorang. Dibarisan laki-laki ia melihat Ayah Fahma duduk bersampingan dengan papahnya. Sang papah ternyata sudah sampai. Ia yang tadi memesankan taxi online untuk menjemput sang papah. Mata Refa terus meniti wajah-wajah para tamu yang hadir. Namun tak jua ia temukan sosoknya.

“Kemana dia?” gumam Refa dalam hatinya. Ia mencari keberadaan Fa’i. Sejak pagi-pagi sekali datang ke rumah Fahma ia bahkan belum bertemu dengan kakak sahabatnya itu.

Kini, didalam masjid puluhan orang yang hadir tampak fokus menyimak nasihat pernikahan yang diberikan oleh salah seorang ustadz mashyur di kota Bogor, menjelaskan tentang hal ikhwal pernikahan. Suka duka menjalani biduk rumah tangga, juga nasihat bagi laki-laki dan perempuan yang akan menjalani hal ini. Terutama untuk Adit dan Fahma yang dalam beberapa menit kedepan akan mulai mengarungi kehidupan rumah tangga.

“Suami mu itu bukan lah malaikat yang bebas dari kesalahan, ia bisa saja salah. Ia bisa juga khilaf. Begitupula istrimu, istrimu itu bukanlah bidadari yang lepas dari kekurangan, cerewatnya dia, omelannya dia, marah-marahnya dia. Itu adalah satu paket yang harus kamu terima, kamu cintai sepenuh hati. Jangan karena suami atau istrimu berbuat salah atau pernah melakukan kesalahan di masa lalu, lalu anda hujat dirinya. Anda merasa suci karena menafikan hal tersebut. Bapak-ibu, adik kakak sekalian. Seseorang yang sudah berdamai dengan masa lalunya, bertaubat atas kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu sejatinya dia sudah menutup lembaran yang baru, tidak perlu lagi kita usik, tidak perlu lagi kita singgung, hal itu jelas akan melukai pasangan kita. Cukup diingatkan dengan lembut, diperbaiki dan terus didampingi agar menjadi pasangan hebat yang siap melahirkan generasi islam yang juga hebatnya.”

Seseorang yang terduduk di barisan belakang tertegun, ia seperti diingatkan melalui isi nasihat pernikahan dalam acara akad adiknya. Dari lubuk hatinya yang terdalam, ia memang masih cukup sulit mempertimbangkan tentang masa lalu Refa yang pernah pacaran bahkan sampai lima tahun lamanya. Disisi yang lain dirinya sejak akil baligh (remaja) sudah menjaga diri dari interaksi nya dengan lawan jenis. Apa yang sudah terjadi dalam kurun waktu selama itu?  Fa’i menarik nafas, mencoba untuk menghilangkan stigma negatif yang ada didalam otaknya.

“Seseorang yang sudah berdamai dengan masa lalunya, bertaubat atas kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu sejatinya dia sudah menutup lembaran yang baru, tidak perlu lagi kita usik, tidak perlu lagi kita singgung, hal itu jelas akan melukai pasangan kita. Cukup diingatkan dengan lembut, diperbaiki dan terus didampingi agar menjadi pasangan hebat yang siap melahirkan generasi islam yang juga hebatnya.”

Kalimat bijak nasihat pernikahan itu kembali terngiang. Ia kemudian mengucapkan istighfar berkali-kali di bibirnya. Ia harus kembali yakin tentang niatnya. Masa lalu memang bisa menjadi pertimbangan seseorang dalam memutuskan, tapi hal itu tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur mutlak untuk menentukan apakah dia baik atau tidak. Siapa yang tau ternyata dari masa lalu itu justru membuatnya berubah kearah yang lebih baik, bergerak cepat memperbaiki apa-apa yang selama ini masih kurang. Bisa jadi juga, dia malah melesat cepat memperbanyak amal sholih hingga ternyata ia mengalahkan orang-orang yang bahkan tidak punya riwayat masalalu kelam. Fa’i menarik nafas sekali lagi. Ia tidak boleh menghakimi sesuatu yang sudah terjadi. Dalam penghilatannya gadis itu baik, pun begitu dengan penuturan Fahma adiknya yang notabenenya adalah sahabat Refa, ia juga sudah berdiskusi banyak dengan ayah dan ibu yang tentunya sedikit banyak mengetahui tentang gadis yang sedang berta’aruf dengan dirinya itu.

Ia menatap lamat hijab putih yang terpasang di sudut bagian akhwat. Sekotak bagian itu ada adiknya yang mungkin sedang resah. Dan disana pasti juga ada Refa, seorang sahabat yang tidak pernah absen memberikan support system. Fa’i mengangkat senyum tipisnya saat menatap hijap putih tanpa objek tersebut. Membayangkan jika Allah memang berkehendak menyatukan ia dan Refa dalam ikatan pernikahan, artinya dua gadis itu bukan lagi sekedar hubungan persahabatan melainkan berubah menjadi ikatan keluarga. Fa’i menerawang langit-langit maasjid mencoba untuk tetap fokus pada akad pernikahan Fahma dan Adit yang sebentar lagi akan terlaksana.

Fa’i kemudian bergerak kedepan, Ayah terlihat sudah akan mulai menjabat jemari Adit. Memulai prosesi akad. Ia duduk tepat disamping ibunya.

“Saudara Adit, apakah sudah siap?” tanya bapak penghulu. Adit, laki-laki itu dengan jas hitam itu mengangguk mantap.

Lihat selengkapnya