Jika ada hari yang membuatnya berdebar senang, bahagia dan khawatir dalam satu waktu selain ujian kelulusan, hari ini adalah salah satu nya. Betapa tidak, kemarin pagi saat dirinya tengah membersihkan rumah di ruang tamu, sebuah pesan dari Fa’i mengejutkan dirinya. Ia senang, bahagia tapi merasa khawatir pada saat yang sama. Selama menjalani ta’aruf satu bulan lamanya, sudah lah melalui perantara Koko dan istrinya, keduanya pun amat sedikit melakukan komunikasi di grup yang memang menjadi wadah untuk keduanya. Hanya beberapa pertanyaan prinsipal sisanya grup cukup hening. Patutlah, Refa kaget saat Fa’i mengabarinya di grup bahwa ia akan datang melamar dengan keluarga nya esok pagi.
Sejak semalam, Refa kesulitan untuk tidur. Ia memikirkan apa yang akan terjadi di esok pagi. Overthingkingnya lagi-lagi kumat. Hingga sudah pagi saja, dan rombongan sudah tiba dirumahnya, ia masih tidak percaya jika laki-laki itu yang merupakan kakak dari Fahma sahabatnya akan melamarnya sebentar lagi.
Gadis itu sibuk mematut diri di cermin besar kamar, meyakini ia sudah terlihat rapih. Meski sudah hampir satu jam ia berulangkali berkaca. Ia gerogi. Refa kembali menghembuskan nafas, berusaha membuat degupan jantungnya kembali berdetak normal. Di ruang tamu, Fa’i, Pak Tio, Ibu Ratna, Fahma dan suaminya Adit sedang berbincang. Mereka baru saja tiba. Dan Refa masih didalam kamar. Ia ragu untuk keluar dan menampakkan diri pada orang-orang yang sebenarnya sudah tidak lagi asing baginya itu.
“Ref... Papah boleh masuk?” ucap Pak Darma dari balik pintu kamarnya.
Ia terperanjat, Refa kemudian membuka kunci pintu kamarnya yang sengaja ia tutup. Bahkan Fahma yang menyusulnya tadi pun diminta keluar oleh Refa, ia butuh waktu untuk sendiri. Namun, mendengar sang papah yang mengetuk pintu, ia bergegas membukakannya. Terlebih, ia sudah hampir setengah jam ada di kamar sejak kedatangan Fa’i dan keluarga.
“Kebawah yuk, Fa’i dan keluarga sudah menunggu dibawah. Ingin bertemu calon istri katanya,” ucap lembut Pak Darma sambil tersenyum hangat pada anak gadisnya yang tampak cantik hari ini.
Refa berdiri dengan raut wajah khawatir, “Refa takut pah, Fa’i benar-benar serius memilih Refa?” ungkap Refa. Gadis itu menundukkan pandangan, ia ungkapkan keresahan hatinya. Ia hanya tidak ingin melambungkan ekpektasi yang tinggi akan hubungan ini. Dirinya pernah gagal berkali-kali dalam hubungan. Seringnya saat ia berharap lebih, tapi ternyata fakta berkebalikan. Ia pernah beberapa kali kecewa dan itu melelahkan. Refa hanya berharap ia tidak ingin terlalu sakit ketika harapan tak sejalan dengan keinginan.
Pak Darma tersenyum, ia meraih puncak kepala Refa dan mengelusnya lembut, memaklumi perasaan anaknya ini. Bagaimana pun juga Refa pernah memiliki trauma yang mendalam di masa lalu. Hal itu tentunya membuat Refa sedikit ragu untuk bersikap.
“Refa, dengan datangnya Fa’i, pak Tio, ibu Ratna, Fahma sama suami nya itu satu hal yang menunjukkan keseriusan nak. Papah yakin, mereka akan menerima kamu jadi keluarga baru mereka. Menerima segala kurang lebih nya kamu.”
Refa memandang penuh, ia mengamati lekuk wajah sang papah di depannya. Mencari keseriusan untuk meyakinkan hatinya yang meragu.
“Tadi Fa’i bilang ingin menyegerakan proses ini. Kita berdo’a semoga Allah memudahkan proses ini. Refa turun dulu ya.”