“Serius neng?” pekik kaget ibu Maryam, ibu Nuri, ibu Ika dan ibu Titi kompak
“Ya Allah Neng, beneran ini teh?” Ibu Maryam kembali bersuara. Keempat ibu – ibu dihadapan Refa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mereka kompak menatap Refa, dengan pandangan penuh. Menanti jawaban kebenaran yang ia tunggu.
“Neng serius mau nikah?” Kali ini Ibu Ika bersuara. Tidak sabaran menunggu kelanjutan cerita Refa—seorang anak sahabat mereka yang sudah dianggap sebagai sahabat sendiri. Tidak berlebihan kiranya jika Refa menganggapnya demikian. Diantara tetangga, teman dan sahabat almarhumah mamah nya, hanya ibu – ibu inilah yang rutin menjengukinya, memperlakukan Refa dan Pak Darma dengan baik. Bahkan saat dua pekan pertama sepeninggal almarhum mamahnya, ibu-ibu ini bahkan rela membuat jadwal bergilir tanpa diminta untuk menemari tidur Refa, yang kala itu masih duduk dibangku menengah atas. Hanya untuk memastikan ujian nasional Refa berjalan dengan lancar meski cukup terguncang dengan kesedihan itu.
Refa menunduk haru, ia jadi teringat mendiang ibunya. Tentu almarhum mamah Refa akan bereaksi serupa dengan keempat sahabatnya sekarang. Mamah akan senang dengan berita baik ini. Akhirnya, setelah penantian lamanya. Setelah ikhtiarnya, ia sebentar lagi akan mewujudkan satu mimpinya. Mimpi papahnya, mimpi dan keinginan dari orang-orang yang menyayanginya, orang-orang yang juga melambungkan doa dan harapan yang sama untuk dirinya. Ia akan menikah sebentar lagi.
Meski tak dipungkiri, ia juga perlu mawas diri. Karena sebelum akad terucap, sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Beberapa kali ia menjalani ta’aruf dengan beberapa laki-laki, ada satu diantaranya yang sudah sampai di tahap khitbah atau lamaran di dalam Islam, bahkan juga sudah membicarakan tentang persiapan pernikahan. Sama seperti yang Fa’i lakukan dua pekan lalu. Namun, ternyata kisah mereka batal. Artinya, selama proses akad belum sempurna terlisankan, selama wali, saksi dan bapak penghulu belum mengatakan kata ‘sah’ apapun bisa saja terjadi. Fara juga menata hati untuk itu.
“Neng, masyaallah, ibu teh seneng pisan dengernya,” ucap Ibu Maryam. Perempuan paruh baya itu memeluk cepat Refa yang tertunduk. Diikuti dengan ketiga ibu-ibu lainnya yang merapat ke tubuh gadis itu. Kali terakhir keempat ibu-ibu itu memeluknya erat seperti ini, Refa bergerak untuk membuatnya terlepas. Saat itu ia belum siap mengatur nafas. Sehingga ingin cepat-cepat melepaskannya.
Kali ini, saat ibu Maryam pertama kali memeluknya, Refa sudah mengambil ancang-ancang. Ia mengambil nafas panjang. Tau kelanjutan nya akan seperti apa, dan benar saja ibu-ibu itu segera meniru adegan dari serial televisi anak yang sempat mahsyur di masanya, teletabies—berpelukan. Kali ini Refa siap, bahkan ia berharap keempat perempuan yang juga sudah ia anggap sebagai ibu nya itu memeluknya lebih lama. Karena kali ini, airmata Refa sudah menganak sungai. Ia menangis dipelukan sahabat almarhumah mamahnya. Dengan penuh hati Refa membalas rangkulan erat di pundaknya. Ia bahkan sampai terpejam hanyut dalam perasaan haru.
“Makasih ya ibu-ibu, do’ain supaya semuanya lancar-lancar terus ya,” lirih Refa. Gadis itu menguatkan diri untuk berbicara setelah banyak deraian airmata haru menetes dari dua bola matanya.
“Semoga Allah ridhoi, semoga Allah mudahkan. Semoga ini yang terbaik untuk Refa,” lanjut gadis itu. Satu persatu ibu – ibu yang memeluk Refa melepaskannya. Mereka menatap haru. Mata mereka semua merah, mereka ternyata ikut menangis. Refa jadi semakin melow. Ia menyempatkan dirinya untuk tertawa.
“Sayang, neng Refa teh kan udah kita anggap sebagai anak sendiri atuh neng. Kita semua ikut senang dan berharap semuanya akan berjalan dengan lancar-lancar. Pokoknya kita akan bantu sebisa dan semaksimal mungkin. Ya gak ibu-ibu?” tanya Ibu Titi, suaranya baru terdengar.