Sorenya, rombongan ibu-ibu sahabat almarhumah mamahnya benar-benar menepati janjinya. Mereka ramai-ramai pergi berziarah ke makam mamahnya Refa. Hal yang sebenarnya juga tidak luput mereka lakukan sejak ia meninggal.
Pak Darma ikut, katanya ia juga rindu ingin bertemu dengan istri kesayangannya. Mereka berangkat dengan mobil taxi online yang dipesankan Refa melalui aplikasi. Selain belum punya mobil, Pak Darma juga dalam kondisi tidak boleh menyetir. Kemarin ia baru saja medical check-up. Semua memang dalam keadaan normal, kesehatan Pak Darma terus prima disetiap hatinya, namun dirinya juga harus berhati-hati pada hal-hal yang bisa memicu kambuhnya penyakit jantung. Penyakit yang satu itu bahkan bisa saja muncul tiba-tiba. Maka, pilihan yang bijak jika mereka semua menggunakan jasa taxi mobil online saja.
Lima belas menit mereka sampai. Posisi almarhumah berada di pemakaman umum yang masih berada di wilayah tempat tinggal Refa dan Pak Darma. Itu permintaan Pak Darma, papahnya Refa itu memang yang meminta agar almarhumah istrinya dikuburkan tetap dekat dengan mereka.
“Mah,” sapa Refa. Gadis itu tersenyum ke arah gundukan tanah merah yang diatasnya masih ada bunga-bunga kering. Kayu nisan kuburnya bernama Nia Nasya yang wafat pada usia 40 tahun, tiga hari sebelum hari kelahirannya. Refa jadi teringat, saat itu ia sudah menyiapkan surprise ulang tahun untuk mamah sebelumnya, bahkan seminggu sebelum tanggal kelahiran mamah. Namun, belum sempat hal itu terlaksana, mamahnya ternyata meninggal dunia. Saat itu Refa sedih bukan main, ia bahkan terus menangis di pusara mamahnya selama tiga hari berturut-turut. Karena nasihat papahnya, Pak Darma bahwa orang meninggal itu tidak boleh ditangisi karena akan membuat almarhumah berat di alam kubur, saat itu juga Refa berhenti. Ia mulai bisa bijak menghadapinya.
“Assalamu’aikum jeung Nia,” ucap kompak keempat ibu-ibu yang menyusul Refa dan Pak Darma yang lebih dulu menuju makam Nia. Mereka tadi ke depan untuk membeli bunga dan air mawar dulu.
“Yaampun jeung Nia, eta rumah kamu kok ilalangnya tumbuh terus ih, maafin ya kita baru datang lagi,” ucap ibu Maryam yang langsung duduk disamping gundukan tananh yang disisi kanan dan kirinya memang tumbuh ilalang liar. Padahal terakhir kali kesini yakni dua pekan sebelumnya, merka yakin sudah mencabuti ilalang ilalang nakal itu. Ah, ini juga pasti karena hujan, yang membuat tanah menjadi sangat subur hingga cepat sekali bagi tanaman disekitarnya tumbuh dengan cepat.
Ketiga ibu-ibu lain menyusul dengan sebelumnya mengucapkan salam. Refa dan Pak Darma ikut membantu, setelah ilalang itu mereka cabut. Bunga-bunga kembang tujuh rupa itu mereka sebarkan rata disepanjang gundukan, tak lupa air mawar mereka siramkan perlahan keatasnya. Setelah itu mereka berdo’a bersama, mengirimkan al-fatihah untuk almarhumah Nia
“Nia, kami datang ramai—ramai tau, ada geng jeung-kelly ada Refa anak kamu, sama suami kamu juga. Nah, sini-sini neng Refa,” panggil Ibu Nuri yang duduk tepat di samping kayu nisan almarhumah. Refa mendekat, ia duduk diapit oleh ibu Nuri dan Ibu Maryam.
“Tah, anak kamu Nia, masyaallah, bentar lagi gak jomblo lagi tau,” lanjut ibu Nuri. Kedua ibu-ibu disampingnya merangkul pundaknya sambil terus menatap kayu nisan.
“Tah, neng Refa. Sekarang ngomong sama mamah, kalau bentar lagi kamu akan menikah insyaallah, dan sahabat-sahabat mamah kamu ini yang bakal bantuin kamu, kawal sampai halal!” ucap Ibu Maryam dengan sedikit menggebu.