Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #44

Sah!

Ada banyak hal hebat yang terjadi setelah kepahitan dan duka yang mendalam. Ada hal yang membahagiakan, setelah banyaknya kesedihan yang dilewati. Ada banyak hal indah yang benar-benar dapat dirasakan setelah melalui banyak cobaan.

Sejatinya hidup manusia berproses, berpindah, berputar. Ibarat sebuah roda, kehidupan nyatanya memang seperti itu. Kemarin, bisa saja berada diatas, sepaket dengan kesenangan serta kebahagiaan luar biasa. Namun esok harinya, siapa yang mengira ia akan berada di titik terbawah, berjuang, merangkak, tergagap-gagap meraih pegangan hanya untuk sekedear dapat berdiri tegap.

Kuasa Nya yang membuat hidup berjalan sedemikian rupa. Tidak ada yang benar-benar abadi dalam kehidupan dunia yang fana ini.

Rasanya, baru kemarin ia berdiri disana. Melihat dengan pandangan penuh euforia yang meletup bahagia. Bunga-bunga warna warni, ruangan putih ke emas emasan. Jejeran kursi-kursi cantik lengkap dengan sarung kain putih dengan pita-pita besar di belakangnya. Suasana bahagia itu tidak mungkin ia lupakan, sampai sesuatu realita itu harus dibuka di depan matanya langsung, memaksa agar ia tau yang sesungguhnya sebelum ia benar-benar menyesal.

Kiranya, begitulah skenario hidup yang harus lebih dulu ia jalani. Terjebak pada kebahagiaan semu, yang apabila dipaksakan justru akan membuat kesakitan hatinya bisa saja melebihi sakit hati pada saat itu.

Hari ini, ia kembali ke gedung ini. Menatap dengan binar kebahagiaan penuh haru. Bukan hal yang mudah tentu. Karena ditempat ini, sesuatu kegagalan besar pernah terjadi. Pernikahannya dengan Bagas dahulu, batal dan berakhir begitu saja. Refa hanya ingin menutup semua lukanya, ia hanya ingin mengakhiri kesakit-hatiannya. Ia hanya ingin benar-benar bisa hidup bebas tanpa trauma ataupun luka masa lalu. Ia ingin memulai hidupnya yang baru setelah ini dengan keikhlasan atas semua hal yang sudah terjadi padanya di masa lalu.

Refa berdiri tegap, ia meniti dekorasi indah bernuansa biru didepannya. Ia menghembuskan nafasnya, menata hatinya untuk kuat melangkah.

“Refa? Kok disini nak?” Seseorang ternyata memergokinya. Laki-laki itu kemudian berjalan menuju Refa yang berdiri di depan pintu masuk ruangan.

“Kok disini? Dirumah kesepian ya? Apa mau dipanggilin ibu-ibu bestie nya mamah?” ucap Pak Darma.

Refa menggeleng, ia hanya ingin menguatkan hatinya sekali lagi, agar besok ia benar-benar bisa berjalan dengan keanggunan, bukan dengan diiringi duka penyesalan atau rasa ketidaktenangan. Bagaimana pun juga gedung ini akan menjadi saksi hidupnya, ia pernah gagal ditempat ini, ia tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.

Pak Darma menoleh, mengikuti arah pandang Refa yang tengah melihat ke sekeliling ruangan yang sedang dipersiapkan itu.

“Kamu yakin kuat nak? Kita masih ada waktu untuk pindah jika kamu mau,” ungkap Pak Darma. Sebelumnya, sang papah memang sudah memberikan saran untuk tidak menggunakan gedung yang sama, tapi Refa tetap ingin agar pelaksanaan pernikahannya di gedung yang sama.

“Engga pah, Refa mau tetep disini. Refa mau bijak. Tempat ini gak salah, skenario Allah udah yang paling baik Pah. Tapi Refa masih suka kepikiran karena ditempat ini semua kesakitan Refa bermula. Refa mau mengakhirinya dengan baik, Refa mau memulai semuanya dari awal. Refa mau tempat ini jadi saksi kebahagiaan aku, bukan tempat yang menyimpan duka lagi.”

Pak Darma mengangguk, ia kagum dengan kesungguhan hati anaknya untuk bisa benar-benar bangkit dari keterpurukannya. Ia membawa Refa dalam pelukan. Dalam beberapa jam saja, anak gadisnya ini akan benar-benar menjadi seorang istri. Kali ini, ia yakin Fa’i adalah sosok laki-laki yang tidak akan menyakiti hati anaknya.

“Sekarang kita pulang ya, kamu harus istirahat. Gak boleh kecapean, besok akan jadi hari yang panjang untuk kita nak,” ucap Pak Darma. Dalam pelukan Refa mengangguk. Keduanya pulang bersama.

Lihat selengkapnya