Bagi Fa’i, tidak ada kebahagian paling bahagia pada beberapa moment tertentu dalam hidupnya, salah satunya adalah hari ini. Hari pernikahannya. Terakhir kali merasa sebahagia hari ini adalah saat pengumuman kelulusan ujian calon mahasiswa baru Al-Azhar, saat itu ia adalah satu-satunya dari sekolah yang melanjutkan studi di luar negeri.
Setelah penyelenggaran akad nikah dilanjutkan resepsi pernikahan antara dirinya dengan Refa, ada sebuah kelegaan sekaligus ketakutan pada dirinya. Lega karena proses penantiannya tentang siapa gerangan jodohnya benar-benar clear hari ini. Hey, dia baru saha mengucapkan sebuah ikrar kepada seorang perempuan dimana ia akan bertanggung jawab penuh terhadap urusan dunia dan akhiratnya. Tidak menyangka, ternyata sosok itu adalah sahabat dari adiknya sendiri.
Hidup itu lucu ya, dari sebuah perkataan tak berniat dari mulutnya saat berusaha menjadi penengah sekaligus penenang bagi Refa, agar laki-laki dari masa lalunya lekas berlalu saat itu. Ternyata beneran terwujud. Sekali lagi dalam hidupnya ia membuktikan kebenaran bahwa ucapan adalah do’a.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka, seseorang akan masuk. Sejak beberapa menit lalu yang Fa’i lakukan hanya diam terduduk di atas kasur dari sebuah kamar yang juga tanpa sengaja ia pernah kunjungi sebelumnya. Saat itu, ia berfikir tidak lagi akan bisa masuk kedalam kamar yang sempat ia kagumi. Nyatanya, malam ini ia akan benar-benar tidur didalamnya. Ia hanya seorang diri, karena istrinya—sang pemilik kamar sedang ke bawah menemui keluarganya. Ia bahkan sempat menata hati dan memikirkan segala kemungkinan yang terjadi saat Refa kembali masuk kedalam kamar. Lucu ya, seorang Fa’i yang belum pernah pacaran, jangankan bersentuhan dengan lawan jenis, jika berduaan saja ia tidak pernah. Betapa gugupnya ia malam itu, bertambah berkali-kali lipat saat pintu kamar diketuk. Degupan jantungnya juga berdegup tidak karuan sekarang. Fa’i mendadak salah tingkah, ia tidak tau bagaimana harus bersikap. Ia memilih untuk duduk tenang saja.
Dari balik celah pintu kamar, seorang perempuan mengintip. Fa’i yang sudah tegang seketika menarik segaris senyumnya, bahkan ia sempat tertawa sebagai sebuah respon. Perempuan itu akhirnya masuk, ia ikut tertawa. Dia Fahma adiknya.
“Astaghfirullah Fah, masuk kamar orang bilang-bilang apa? Kaka kaget tau, kirain siapa?” keluh Fa’i, suasana ketegangan yang ia rasakan tadi sedikit mencair saat tau yang masuk adalah adiknya.
Fahma masih tertawa, ia jelas melihat bagaimana perubahan raut wajah sang kakak yang sedari awal kaku bak kanebo kering, sang kaka pasti gugup. Sama seperti dirinya dulu. Tak berselang lama dari masuknya Fahma, Adit menyusul masuk. Dua sepasang suami istri yang kini tampak kompak itu mengerumuni Fa’i diatas kasur.
“Hay bro,” sapa Adit ramah.
“Hay Dit.”
“Udah stanbye aja di kamar Syekh, ada apa nih?” canda Adit, sambil mengedipkan matanya pada Fahma disampingnya. Bukannya merespon, Fahma malah memalingkan wajah sambil menahan semburat merah pada pipinya, bisa-bisanya kak Adit malah memancing-mancing pembahasan sensitif itu. Sudah tau Fahma tidak pernah terbiasa dengan itu, meski pernikahan mereka sudah berjalan sebulan lamanya.
“Kak Adit.......” protes Fahma. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada arah yang lain, tak ingin melihat wajah kak Adit yang menyeringai seperti itu. Kedua sejoli itu tampak lucu menggemaskan.