Unaisil Gadis Santri Itu

ahmad kholil | @KholilAhmad
Chapter #1

Siapa Dia

Bismillahirrahmanirrahim, kulangkahkan kaki dengan pasti. Hari ini kali pertama aku ikut Bimbingan Belajar (Bimbel). Yah, untuk persiapan ikut Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Aku tidak ingin apa yang telah aku cita-citakan gagal. Aku harus masuk universitas negeri. Menjadi dosen senior adalah impianku sejak SMP dulu. Meskipun orangtuaku telah menempatkan aku di sebuah pesantren, Aliyah, cita-citaku ini tak akan pernah tergantikan.

Orangtuaku sebenarnya lebih menginginkan aku menjadi seorang hafidz, penghafal al-Quran atau seorang dai, tetapi untuk menjadi seorang hafidz rasanya aku belum sanggup. Aku baru hafal lima belas juz yang pertama. Setelah itu aku berhenti. Meski di dalam hati aku berjanji, insyaAllah akan aku coba untuk meneruskan dan akan kujaga apa yang telah aku hafalkan dari al-Quran.

Karena tentu aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku. Semua akan kucoba sebisaku dan aku yakin Allah akan memberi jalan yang terbaik karena, man jadda wa jadda – barangsiapa bersungguh-sungguh dia akan berhasil.

Ku ambil kontak Supra Fit miliku dengan riang. Sesaat kulirik wajahku di cermin. Dan ah, udah cakep, pikirku. Siap untuk berangkat. Tetapi, ...Oo...kustater motorku, tak juga nyala. MasyaAllah bensinnya habis. Duh, sial, pikirku. Untuk beli bensin aku perlu waktu sepuluh menit. Pom bensin lumayan jauh dari pesantren. Kuputuskan naik angkot saja. Kebetulan, lokasi pesantren memang cukup strategis. Tidak terlalu jauh dari jalan raya. Dan benar, belum juga lima menit aku berdiri di tepi jalan, angkot yang kutunggu telah menghampiriku. Berhenti. Aku pun naik dan angkot berjalan perlahan. Setelah aku duduk, kukatakan pada kenek, bahwa aku akan turun di terminal.

Udara pagi membelai tubuhku lewat pintu mikrolet yang aku tumpangi. Kota Metro begitu sejuk di saat pagi seperti ini. Tapi siangan sedikit berubah menjadi panas yang menyengat. Mikrolet berhenti di Terminal Kota Metro. Para penumpang turun satu-satu. Begitu juga aku.

Terminal sudah ramai, bukan ramai tapi semrawut. Aku harus segera mencari mobil tumpangan ke arah kampus. Sesaat kusapukan pandangan mataku dan kutemukan sesosok gadis cantik duduk di pintu mobil Mikrolet, bertopi hitam, celana jeans dan baju oblong lengan pajang ala Ian dalam sinetron, Pacar Khayalan. Aku seperti mengenalnya, tapi..siapa? belum juga kutemukan jawaban atas pertanyaanku ini, seseorang menarik tanganku. Dan akupun segera menoleh.

“Ardhan, kan?” Sapa orang di depanku.

“Ya, Allah, Mas Pandi, ya?”

Kami memang sudah saling kenal. Dia anak Bu De, yang tinggal di sektor/24 sana.

“Mau ke mana?” tanya padaku.

“Kampus,”jawabku pendek.

“Lho, kata Bu Lek, kamu itu katanya sudah dibelikan motor, kok naik angkot?”

“Iya, sih. Tetapi tadi pagi motornya mogok. Bensinnya habis. Kemarin lupa ngisi.”

Mas pandi meninjuku. Pelan.”Kamu, itu ada-ada saja,”katanya kemudian.

“Lha, Mas pandi ngapain?”

“Iya, namanya juga sopir, ya cari penumpang,”jawabnya enteng.

Aku lupa, kalau Mas Pandi ini adalah salah seorang Sopir yang saben hari ngetem di terminal ini.

“Sudah siang lho Dhan, nanti kamu telat. Tuh, naik mobil itu saja. Keneknya cewek. Cakep lagi,”ujar Mas Pandi sambil menunjuk ke arah mobil yang kuperhatikan sejak tadi.

“Iya, iya Mas. Kalu gitu, saya tak duluan, ya Mas.”

Mas Pandi mengangguk sambil tersenyum.

Aku telah duduk tenang di bangku belajar. Kudengarkan baik-baik setiap kalimat yang keluar dari pembimbingku. Kucatat dan kuanalisa. Tiga jam kami belajar dengan exstra cepat. Akhirnya selesai juga pelajaran hari ini.

Setelah keluar gedung, perutku terasa perih. Aku lapar. Ya Allah. Memang sedari kemarin sore perut kesayanganku ini belum mendapatkan jatah nasi sedikitpun. Kalau tak salah, semalam aku hanya menelan lima potong singkong goreng yang disuguhkan Ridwan saat aku sedang belajar. Entah dapat dari mana anak itu. “halal,”katanya. Dan langsung aku santap hingga habis lima potong singkong goreng ukuran kecil-kecil itu.

Wajar, jika kini sang penadah makanan ini kembali protes. Baiklah akan aku turuti kemauanmu, dari pada ngambek dan membuatku jadi sakit, gumamku.

Aku segera menuju ke kantin di salah satu sudut kampus ini. Lega rasanya. Setelah menyantap menu makan siang seadanya, aku harus segera kembali ke pesantren. Ada pekerjaan rumah (PR) Faroid yang belum aku kerjakan. Selain itu aku juga harus belajar exstra lebih. Karena ada jatah takrar Alpiah, di kelas Wustha Awal. Lumayan padat, tetapi aku senang mengerjakan semua ini. Tentu saja karena kehendak-Mu, ya Allah.

Lihat selengkapnya