Unaisil Gadis Santri Itu

ahmad kholil | @KholilAhmad
Chapter #2

Peristiwa di Terminal

Hari ini mendung. Kira-kira sebentar lagi hujan akan turun. Matahari tampak samar-samar. Seakan enggan bersinar. Meski begitu para santri tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa. Yang sekolah sibuk mempersiapkan diri. Sementara yang tidak sekolah juga tak kalah aktif. Mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri.

Ada yang masak. Pergi ke ladang bersama Pak Lurah Hidayat. Ya, meneruskan pengelolaan sawah pesantren yang sejak ditinggal Pak Rasyid jadi agak terbengkalai. Padahal lumayan hasilnya. Ada padi, sayur-sayuran. Seperti kacang panjang, terung dan bayam. Belum lagi tanaman kencurnya. Pak Dayat, memang tidak begitu telaten mengurus sawah dan ladang. Maklum, dia memang tidak pas di bidang pertanian. Bukan ahlinya. Ia memang seorang guru. Hanya kadangkala saja dia ikut ke ladang, kalau tidak ada jam ngajar di sekolah.

Setelah selesai merapikan diri, aku segera keluar mengambil sepatu dan memakainya. Sepatu butut, kesayangan. Irfan menghampiriku.

 “Kang, motornya udah bisa dipakai, tuh.”

  “Aku nggak bawa motor kok Fan. Kalau kamu mau pakai, pakai saja.”

“Lha kenapa. Nanti Kang Ardhan telat. Lha mau hujan lagi,”ujar Irfan.

“Iya, Dhan, bawa motor saja. Biar cepat.”

Pak Dayat sudah di tempatku dengan pakaian taninya. Celana gombrang. Topi tani yang bulat dan lebar melingkar. Bertenggar di atas kepala. Meski begitu dia tetap tampak begitu ganteng.

“Enaknya naik angkot, Pak,”jawabku.

“Dhan, orangtuamu membelikan kamu motor, itu biar bisa kamu manfaatkan.”

“E..iya udah, deh.”

Aku paling tidak bisa membantah Pak Lurah. Itu dari dulu. Entah kenapa. Setelah berpamitan, aku segera berangkat. Tak lupa kusapa Ridwan, sahabatku yang sedang nongkrong di Xerok depan pesantren. Juga Fauzi yang telah standbye di Rental Computer, milik pesantren.

Kusetir motorku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak ingin kehujanan di jalan. Namun, ketika aku sampai di terminal, hujan turun dengan derasnya. Mau tidak mau, aku harus berteduh.

Aku berteduh di emperan toko buku. Udara dingin menerpa jaketku hingga berkibar, menggelembung. Dingin menyelusup dan sempat membuat tubuhku terasa menggigil. Petir sesekali terdengar menggelegar. Kulirik arloji di tanganku. Pukul 07.30. wah, bakalan telat nih, pikirku. Kurapatkan jaketku. Hembusan udara basah membuat jaketku lengket di tubuhku. Rasanya benar-benar dingin.

Biasanya kalau hujan semacam ini, aku dan teman-teman seasrama lebih senang tidur-tiduran atau ngemil di kamar. Apa saja. Semua jajanan, dagangan milik Bu Muhammad yang dititipkan pada warung Kang Imam, bisa langsung habis kami santap.

Hujan mulai reda. Meski rinai gerimis masih jatuh kecil-kecil, aku segera melangkah untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi, sebelum kustater motorku, kudengar seorang wanita membentak. Suaranya melengking. Keras.

“Hai, goblok, lho ya! Nggak punya mata, ya! Keluar!”

Kucari sumber asal suara itu, dan masyaAllah, seorang wanita dan laki-laki sedang memaki-maki seseorang di dalam mobil. Yang dimaki segera keluar. Gadis kemarin. Ya mirip Unaisil, pikirku. Tak salah lagi, mobilnya juga itu. Tapi kenapa dia yang bawa mobil. Sopirnya ke mana? Pikirku.

“Maaf, Mbak kenapa, ya?” Gadis itu bertanya pada sepasang lelaki pertempuan itu. Suaranya terdengar amat jelas. Karena memang tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Hanya terhalang satu mobil lainnya.

“Maaf, maaf! Lihat nih, bajuku kotor!” Nadanya masih tinggi. Kedua matanya melotot, seperti mau keluar dari tempurungnya. Masih marah.

“Saya kan tidak sengaja,”jawab gadis sopir itu, polos.

“Heh! Makanya kalau mau berhenti lihat-lihat dulu, ada orang tidak. Lagian air ditabrak. Matamu nggak lihat, apa! Lihat nih, cewekku jadi begini,”lelaki di samping wanita judes itu ikutan nimbrung. Tak kalah galaknya.

“Eh, kalian juga kan yang salah. Ngapain berdiri di situ. Udah tahu depannya ada genangan air. Ya bukan salah saya dong. Biasanya saya juga parkir di sini.”

“Oh, jadi lho nggak ngerasa salah, gitu!. Dasar kurang ajar. Tidak tahu diri!”

Wanita itu kini semakin naik pitam. Tangannya menuding-nuding ke wajah si gadis sopir angkot itu. Kata-kata kasar masih saja keluar meyembur dari bibirnya yang tebal.

“Heh! Lho ngomong jangan sembarangan, ya. Jangan mentang-mentang lho berdua kaya terus ngina saya begitu, ya.” Gadis supir itu ikutan marah. Dia terpancing.

“Hai, supir pelacur. Sekarang ganti pakaian gue ini. Harganya mahal tahu.”

“Enak saja, siapa yang pelacur? Siapa yang mau ganti pakaian lho!”

“Eh, kurang ajar, ya. Dasar pelacur!” wanita judes itu mendorong si gadis dan terjadilah saling dorong.

Dasar perempuan, dari dulu tidak ada yang sudi mengalah, pikirku.

Lihat selengkapnya