Rasa penasaran belum juga terobati. Setelah pertemuanku dengan Unaisil di terminal kemarin, justeru semakin mengganjal di hati dan pikiranku. Bagaimana mungkin Unaisil bisa menjadi kenek angkot. Dan melepas jilbab yang kurasa sangat pantas dikenakannya. Aku yakin pasti ada sebabnya. Tapi apa? Pikirku. Usai mengikuti, balahan kitab Ihya Ulumuddin aku merenung menghadap kolam ikan di samping asrama. Aku lemparkan satu genggam makanan pada ikan-ikan itu, dan disambut dengan berebut. Bunyi keicipak air segera tercipta. Sesekali mereka menyembul ke udara. Menimbulkan suara gemericik air yang khas.
“Hafalan, ya?’ suara Ridwan membuyarkan lamunanku. Wajah Unaisil yang sempat membayang di kepalaku langsung kabur entah ke mana.
“Tidak,”jawabku singkat.
“Wan, kamu ingat Unaisil,”tanyaku.
“MasyaAllah, Dhan, jadi kamu benar-benar kangen sama dia? Sejak kemarin dia terus yang kamu tanyakan. Ya, kuakui, aku pernah bahkan beberapa kali melihatnya.”
“Benar, Wan. Kamu tidak bohong, khan?” Aku penasaran dan karena itu aku mendekatkan diri ke Ridwan. Kutatap matanya, meminta kepastian.
“Iya, Dhan. Tapi...”
“Kenapa, Wan?”
“Aku ketemu dia di Kafe Gaul. Kalau tidak salah pada malam Minggu saat aku dan Fauzi baru pulang dari rumah Haris. Terus aku juga pernah melihat dia di mobil..”Ridwan mengingat-ingat.
“Memang benar Wan, yang kamu lihat itu Unaisil?”
“Sepertinya, sih. Tapi perasaanku mengatakan kalau itu benar-benar Unaisil. Meski tidak berjilbab, aku paham betul dengannya. Apalagi tahi lalat di ujung bibir sebelah kanan atasnya,”kata Ridwan memastikan.
Kuingat-ingat wajah Unaisil. Sepertinya memang benar, dia memiliki tahi lalat kecil di ujung bibir kanan sebelah atas. Tetapi kenapa Ridwan melihatnya di kafe, pikirku.
“Wan, benar kamu melihatnya di kafe?”
“Iya. Dia jadi pelayan di kafe.”
“Kamu ke kafe, Wan. Wani-wanine.”
“Iya terpaksa. Habis saat itu aku lapar banget, sih,”jawabnya.
Tanpa diminta, akupun juga menceritakan pertemuanku dengan Unaisil di terminal pada Ridwan. Ridwan manggut-manggut. Kujelaskan pula padanya mengapa aku terus memikirkan Unaisil. Aku hanya ingin tahu mengapa gadis selembut Unaisil bisa berubah begitu.
“Dunia memang sudah gila. Banyak orang yang telah mengerti ajaran agama, tapi tidak mau menerapkannya. Banyak orang telah susah payah mencari ilmu tapi setelah dapat menelantarkannya begitu saja. Tidak mau mengamalkannya. Malah dirinya pun ikut diterlantarkan dalam kericuhan dunia,” kata Ridwan kemudian.
Aku diam. Kutatap langit yang mulai menguning oleh mega yang menggelayut di atas sana. Sebentar lagi waktu salat maghrib tiba.
“Kamu tidak sedang menempatkan Unaisil dalam katagori itu, kan Wan?”
Ridwan diam. Ia lalu melemparkan batu kecil. Kerikil ke tengah kolam. Ikan-ikan berlarian menjauh dari permukaan air. Menenggelamkan diri dalam dunianya sendiri. Dunia air.
“Wan, menurutmu bagaimana?”
“Dhan, aku kenal siapa Unaisil. Aku pernah akrab dengannya. Aku yakin ada hal-hal yang mungkin membuat dia ia harus begitu saat ini. Dia pasti butuh nasihat.”
Aku hanya mengangguk. Masuk akal juga, pikirku.
Suara Kang Imam mengumandangkan tarkhim dengan lembut merdu mengalun. Ridwan mengajakku berdiri untuk melaksanakan salat maghrib. Aku segera bangkit.
“Kita pikirkan lagi nanti malam.”
Ini adalah malam Jumat. Tak ada kegiatan di Aula bakda salat maghrib. Hanya ada tahlilan di musalla. Usai membaca tahlil dan yasin kukirimkan fatihah khusushan para lelulur dan saudaraku yang telah meninggal. Aku selalu ingat nasihat Kakek ketika aku pulang pertama kali dari pondok.
“Lee, kamu sudah bisa kirim fatihah kan? Jangan lupa kalau Kakek sudah mati kirim fatihah buat Kakek dan jangan segan-segan kirim fatihah buat para saudaramu baik yang masih hidup atau yang sudah mati, karena itu adalah subuah doa dan pertolongan.”
Mendengar Kakek berpesan begitu aku langsung memeluknya. Aku menangis sesunggukan. Kakek adalah penasihat paling bijak di dunia ini bagiku.
Usai tahlilan, kami langsung melaksanakan salat isa, dipimpin oleh Ustadz Khairuddin, menantu Mbah Kiai. Jika malam-malam Jumat seperti ini biasanya Mbah Kiai hanya bisa mengimami salat maghrib. Setelah itu, Mbah Kiai kundur. Ada jadwal salat isa keliling di masjid-masjid desa sekitar.
“Dhan, cepetan udah di tunggu, tuh,”suara Nurman dari luar kamar.
“Iya, iya aku sudah siap.”
Aku segera keluar. Kami menuju Aula atas. Malam ini ada rapat bulanan Osis. Semua anggota telah duduk rapih. Hanya aku dan Nurman yang telat. Setelah aku dan Nurman duduk, rapat segera dimulai.
Ifan Sang Sekretaris yang membuka rapat dan membacakan susunan acara rapat malam ini. Disusul laporan hasil kerja selama satu bulan devisi per devisi yang dipimpin oleh Kang Thohir Sang Ketua Osis.
Rapat berjalan selama tiga jam dengan penuh persaudaraan, meskipun banyak pendapat yang berbeda, dalam penyelesaian suatu masalah, tetapi kami saling menghargai.
Kang Thohir sangat bijak dalam menanggapi setiap pendapat. Itulah salah satu yang kami suka dari dirinya. Kami mengakhiri rapat dengan makan-makan. Ada pecel lele yang kata Ifan sadakah dari Bapak Lurah.
Usai rapat, aku langsung ke kamar. Buku-buku tebal bimbelku sudah menantiku untuk dibuka dan memintaku untuk bercengkrama dengannya. Mengakrapinya, mencumbuinya, meski mataku sudah terasa letih dan panas, karena kantuk yang menyerang. Tapi aku tetap paksakan untuk bertahan.
Asrama telah sepi. Hanya suara-suara binatang malam mulai terdengar. Teman-teman yang mendapat jatah jaga lebih memilih ngobrol di Aula. Begitu juga dengan Nurman dan Ridwan. Sepulang rapat langsung ke kantor. Katanya mau membantu Pak Lurah bikin minyak wangi.
Aku masih mencoba bertahan. Kubuka dan kubaca lembar demi lembar buku tebal ini. Di sampingku, Ajun tidur mendengkur. Nyenak sekali tampaknya. Wajahnya tertutup Kitab Imriti. Kuambil dan kuletakkan di meja belajarku. Aneh, anak ini hafalan sambil tiduran sampai tidur benaran.
Kualihkan lagi mataku pada kertas-kertas ini. Semakin buram. Ah, ngantuk sekali. Dan akhirnya aku tak kuat lagi menahan bola mataku agar tetap terjaga. Kusandarkan kepalaku di dinding dan akupun terseret dalam dunia mimpi yang tak menentu. Meninggalkan buku-buku tebal yang membuat mataku seperti melihat sekawanan semut yang berkeriap di atas buku tebal yang kubaca.
Aku melihatnya. Betul-betul melihatnya. Betul-betul dia. Berdiri di tepi jurang yang curam. Memeluk kerudung putih. Menangis tersedu. Dia memandangku. Penuh harap. Aku mencoba mendekatinya. Aku ingin menghiburnya agat tak lagi menangis. Kupanggil namanya. Terus kupanggil dia. Semakin tersedu. Ia ingin berdiri tapi kulihat kakitanya terikat. Dia memanggilku. Aku semakin dekat. Aku ingin menyentuh tangan yang diulurkannya. Tetapi sebelum berhasil kuraih tangannya, tiba-tiba ada tangan lain yang telah menyentuhku. Aku terkaget. Terkejut.
“Dhan. Dhan.”
Kubuka mataku. Tak ada Unaisil di depanku. Hanya Nurman. Ya Allah. Rupanya aku hanya bermimpi. Kusapu wajahku dengan telapak tanganku.
“Tahajutan, tidak? Tadi katanya minta dibangunin.”
“Jam berapa ini?”
“Jam 01.30.”
Aku berdiri. Di kepalaku masih terbayang mimpi tadi. Nurman mengambil kitabnya. Lalu menatanya, kemudian menidurinya. Menjadikannya sebagai bantal.
“Lho, kamu tidak salat, Nur? Ridwan mana?”
“Aku udah. Ridwan, tuh masih di sumur.”
Aku melangkah keluar. Tak ada suara kecuali desauan angin yang berhembus sepoi. Dingin menusuk tulang. Sesekali terdengar dengkuran beberap santri yang masih terlelap dalam mimpinya. Pulas. Di kalangan santri putra, tahajut memang tidak diwajibkan. Terserah mau tahajut atau tidak. Ibadah seperti ini memang butuh keikhlasan. Kalau dipaksakan justeru hasilnya juga tidak sempurna.