Di sela-sela aku sedang tidak berkomunikasi dengannya, aku mendapat kabar dari tante Nining, bahwa aku diajak ketemuan dengannya di kantor tempat dia bekerja, tanteku bekerja di bidang akuntansi pada sebuah lembaga swasta di Jogja, sesampainya aku di ruangan kerjanya, dia menungguku beserta dua orang bapak-bapak yang tidak aku kenal sama sekali, dia menceritakan kepadaku bahwa ketiga orang tersebut adalah teman ayahku dan juga teman tanteku yang datang menghampiri tanteku untuk meminta pertanggung jawaban hutang ayahku kepada masing-masing orang tersebut dengan total hutang hampir seratus juta, aku tidak tahu sama sekali alasan hutang ayahku bisa sampai sebanyak itu, aku pun sempat bingung dan bertanya-tanya alasan tanteku harus memanggilku, ternyata tanteku meminta dengan dalih untuk membantunya dengan cara aset yang masih tersisa dari peninggalan ibuku untuk dijadikan jaminan, bahkan sempat membujukku untuk membantu ayahku dengan memberikan sedikit aset dari peninggalan ibu untuk mencicil hutang ayahku, aku pun menolaknya dan aku menekankan kepada mereka bahwa itu bukanlah tanggung jawabku, memang seketika emosiku langsung tersulut sehingga aku berbicara dengan sedikit membentak, sampai salah-satu dari tiga orang bapak-bapak tersebut memberi tanggapan dengan kalimat yang menyinggung perasaanku dan mengancamku, ditambah dengan nada bicaranya yang sedikit keras sehingga semakin memicu emosiku, sampai aku dengan orang itu sudah hampir berkelahi, hanya beruntung baginya karena ada satpam yang melerai, karena jika tidak aku sudah pastikan orang itu akan kuhajar.
Tidak menunggu lama aku pun langsung meninggalkan ruangan dan pergi, aku rasanya terpukul sekali mengetahui itu semua, seketika semua keburukan ayahku langsung teringat di pikiranku, dimulai dari pergi meninggalkan kami, berusaha bersikukuh mengambil alih aset peninggalan ibu, tanteku yang berusaha membawaku ke permasalahan ayahku belum lagi masalah hubunganku dengan Dani yang sedang renggang, sejujurnya di saat itu aku butuh sekali dukungan dan perhatian dari Dani, tapi di saat itu seakan aku tidak bisa berharap banyak kepada Dani untuk bisa memberiku perhatian dan dukungan, aku hanya bisa berusaha sabar untuk bisa melewati semua ini di tengah hubunganku dengannya yang sudah tidak tahu lagi akan seperti apa.
Selama semingguan aku berusaha menutup diri dengan minim interaksi dengan siapapun, aku mencoba menenangkan diri dengan sering menghabiskan waktu di kamar dan pergi keluar mengendarai motor untuk sekedar membuang penat, di tengah beratnya beban pikiran dan perasaan yang sedang menerpaku, aku berusaha menurunkan egoku dan bersikap seolah tidak ada masalah, aku memutuskan pergi ke rumah Dani di Surakarta, sesampainya disana tepatnya sudah memasuki komplek rumahnya, tanpa sengaja aku melihat dia berboncengan dengan laki-laki lain yang sebelumnya belum pernah aku kenal, aku yakin laki-laki itu bukan saudara atau bagian keluarganya, karena jikapun itu temannya aku pasti tahu dan paham terlebih feelingku tidak akan aneh-aneh, perasaanku sangat yakin kalau itu orang baru yang singgah di hidupnya, apalagi Dani yang kukenal tipikal orang yang tidak mudah pergi dengan laki-laki selain teman dekatnya ataupun saudaranya, kejanggalan itu membuatku menimbulkan banyak dugaan, aku pun pada akhirnya memutuskan untuk tidak jadi menemuinya dan kembali pulang ke rumah, aku berusaha kembali menenangkan pikiran dan perasaanku, aku dengannya menjadi semakin merasa jauh bahkan semakin lama lagi aku dengannya tidak berkomunikasi, sampai selama dua minggu lebih tepatnya, aku berusaha kembali berdamai dengan keadaan, pikiran dan perasaan dan pada akhirnya aku mencoba menelepon Dani untuk menanyakan kabarnya, beberapa kali aku meneleponnya tidak dia angkat, walau pada akhirnya ia mau mengangkat teleponku.
Awal aku meneleponnya, respon Dani cuek sekali kepadaku, aku pun berusaha mencairkan obrolan dengannya agar tidak terlalu tegang, sampai pada akhirnya obrolan kami mulai lancar, setelah kami sudah berhasil berkomunikasi dua arah. Dani menceritakan sebuah hal yang dilaluinya ketika kami sempat tidak berkomunikasi, sejujurnya aku tidak menanyakan apapun kepadanya soal apapun selain kabar, hanya pada dasarnya Dani memang tipikal orang yang tidak bisa menutupi sesuatu hal, maka dari itu dia menceritakan semuanya kepadaku, Dani bercerita bahwa dia di dekati oleh laki-laki lain ketika jauh dariku, dia bilang bahwa dia dan laki-laki tersebut sudah saling suka satu sama lain, bahkan dia bercerita dengan terang-terangan kepadaku kalau dia sudah memutuskanku secara sepihak dengan tidak menganggapku pacarnya lagi, mendengar itu aku berusaha tetap sabar dan tidak menunjukan rasa kesal sama sekali, walaupun di saat itu juga aku sedang bertengkar dengan perasaanku, Dani bilang kepadaku alasan dia membuka perasaan kepada laki-laki itu karena, di matanya dia dianggap lebih serius daripada aku, lebih religius, selalu ada buatnya dari pada aku, Dani juga bilang kepadaku bahwa permasalahanku dengan ayahku menjadi pertimbangan buat dirinya, aku kurang perhatian, kurang serius, tidak tentu ada buatnya bahkan dia bilang kalau dirinya bosan denganku, padahal saat itu aku sedang butuh perhatian dari Dani ditengah adanya beban yang melingkariku, tiga tahun aku jalan dengannya juga merupakan salah satu bentuk komitmenku, sebosan-bosannya aku dengannya aku tidak pernah berpaling dengan perempuan lain, mendengar semua itu aku hanya bisa pasrah soal nasib hubunganku dengannya.
Dani berbicara dengan nangis sesenggukan dalam telepon, dia sadar dia salah, dia melakukan itu juga adanya dorongan pikiran dari teman-temannya yang memberinya saran, walaupun pada akhirnya saran teman-teman yang dia jadikan tempat curhatnya menimbulkan masalah seperti ini, dia meminta maaf kepadaku, aku dengan berusaha tenang menerima maafnya, dia bilang kepadaku agar aku bisa menerimanya lagi, sebelum aku memberikan keputusan aku memberikan dia dua pilihan, jika dia mau melanjutkan hubungan dengan laki-laki itu untuk segera meninggalkan aku, jika dia mau kembali kepadaku tolong untuk segera meninggalkannya, karena tidak akan mungkin jika Dani harus berjalan dengan dua perasaan laki-laki. Dani tetap bersikukuh memilihku, menurutnya aku lebih pantas dipilih karena sudah menjalani hubungan bersama selama tiga tahun dan banyak cerita dan tujuan bersama, bahkan dia sempat bilang kepadaku soal alasanku tidak marah dengannya setelah mengetahui ini semua dan kenapa memberikan dia kesempatan untuk meninggalkanku bukan malah mempertahankannya agar memilihku, batinku berkata bukan berarti sabarku tidak marah, sejujurnya aku kesal, tetapi aku sangat tidak bisa marah, kasar ataupun keras kepada perempuan, aku berprinsip seperti apapun perempuan bukanlah tempat untuk mendapatkan perlakuan kasar dari laki-laki, akupun bukan bermaksud memberinya kesempatan untuk pergi, aku hanya berusaha bersifat realistis dan pasrah karena aku sudah tidak ada daya apapun, perasaan bagiku tidak bisa dipaksakan.