(18 Desember 2009)
Pernah seseorang mengatakan padaku bahwa dunia ini ibarat sebuah kotak yang memiliki lahan luas untuk bermain, dimana kita bisa melakukan apa saja di dalamnya. Bersenang-senang sambil menikmati keindahan alam yang luar biasa, bertindak liar dan merasakan apapun sensasi yang akan terjadi sesudahnya, lalu menciptakan mimpi-mimpi sampai yang mustahil sekalipun. Ya, tak ada yang meragukan; dunia ini penuh dengan keindahan dan keajaiban. Namun apakah benar dunia hanya seperti itu adanya? Adakah yang pernah berpikir bahwa sebenarnya semua keindahan dan keajaiban itu ada karena pikiran kita yang menciptakannya, bahwa mungkin saja kita terus meracuni pikiran sendiri dengan mengatakan betapa indahnya dunia ini walaupun sebenarnya sebaliknya? Yang pasti, kenyataannya, apa yang kulihat di dunia ini tak seperti apa yang kukira. Dan aku baru menyadarinya.
Maka, disinilah aku sekarang, berdiri kaku bagaikan ukiran patung es di bawah rintik-rintik hujan bulan Desember yang membasahi semen beton landasan helikopter atap gedung berlantai tiga puluh lima tempatku bekerja. Siapapun yang melihatku sekarang pasti akan menganggapku orang gila. Yah, mungkin aku memang sudah tak waras lagi. Kalau tidak, buat apa aku ada disini di sela-sela jam makan siang?
Kualihkan pandangan ke sekeliling, mempertegas kesendirianku. Angin bertiup kencang sehingga membuat tiang-tiang pemancar seperti sedang berdansa mengelilingiku di tepi landasan. Sesekali suara gemuruh menyeruak dari balik segumpalan awan hitam yang membungkus matahari, seperti bisikan dari langit yang menyuruhku untuk lekas pergi dari sana.
Tapi, buat apa aku pergi? Aku telah membuat keputusan ini. Kendati jantungku terus berdegup kencang dan saling berpacu saat terpaan angin menggoyang badanku, tetap saja rasa takut akan kematian telah jauh meninggalkanku. Mungkin kalau saat ini aku berdiri di depan cermin, yang terpampang di sana adalah lukisan wajah penuh kepasrahan. Ya, hanya itu. Pasrah. Pasrah akan hari esok yang tak mungkin ada.