(7 Desember 2009)
Semua ini bermula sekitar dua minggu lalu ketika aku mendapat kiriman surat tanpa nama pengirim. Hanya tercantum inisial A.J. di kop surat. Isinya tiga kata yang ditulis besar-besar dengan huruf kapital. SAYA TIDAK BERSALAH! Aku tak mengerti apa maksudnya. Kupikir itu surat nyasar. Tapi jelas alamat tujuannya adalah alamat rumahku, berikut namaku pula yang ditulisnya. Tentu saja, kendati bingung sendiri, kuabaikan surat itu. Dan, yang selanjutnya terjadi, aku mulai bermimpi buruk tentangnya. Sehari, dua hari, dan hari-hari berikutnya. Aku tak sanggup menceritakan ulang apa yang terjadi dalam mimpi itu. Yang jelas, aku yakin sekali di kehidupan nyata mustahil aku punya cukup nyali melakukan hal sekeji itu terhadap seseorang. Apalagi terhadap dia, orang pertama yang mungkin juga sekaligus orang terakhir yang kucintai dalam hidup ini.
Tetapi, ironisnya, aku tak bisa berhenti memikirkan mimpi itu. Aku tak bisa melenyapkan begitu saja dari pikiran ini. Mimpi itu terasa nyata; terlalu nyata untuk bisa kukatakan sebagai bumbu tidur semata. Aku sadar sebagian besar mimpi tak ada artinya. Tapi yang satu ini jelas berbeda. Bisa saja ini merupakan pertanda dari kejadian yang mungkin akan kualami di masa mendatang. Dan begitulah awalnya. Yang selanjutnya kutahu, aku telah menjadi terobsesi karenanya.
Namaku Arief Bachtiar, tapi jarang sekali ada yang memanggilku Arief. Orang-orang biasa memanggilku I’ip. Entah darimana mereka semua tahu itu adalah nama kecilku. Tapi aku tak pernah merasa risih dipanggil demikian. Justru malah membuatku merasa nyaman. Tak lain dan tak bukan, ibuku-lah yang pertama kali mencetuskan nama panggilan itu. Hal yang wajar. Kata ibuku waktu kecil aku kesulitan mengeja huruf ‘F’. Dan, sadar atau tidak, nama panggilan itu terbawa sampai sekarang saat aku sudah bekerja.
Aku bekerja di First Union Bank; salah satu bank asing terbesar yang cakupannya mendunia. Karena nama besarnya itulah orang-orang kerap kali mengatakan betapa beruntungnya aku bisa diterima bekerja disana. Yah, bisa dikatakan aku memang beruntung. Dengan IPK yang tidak sampai tiga setengah waktu lulus dari Universitas Sahid, ditambah kemampuan bahasa inggris-ku yang seadanya, aku memang orang yang beruntung. Entah apa pertimbangan manajemen First Union Bank saat ingin merekrutku ke divisi Call Center.
Tahun ini adalah tahun ke-empat aku bekerja disana, dan entah kenapa aku masih merasa nyaman kendati birokrasi-birokrasi perusahaan kadang mengesalkan. Terjun ke dunia perbankan yang sama sekali bukan latar belakang pendidikanku membuatku babak-belur di tahun pertama. Namun, sekali lagi, beruntungnya aku sudah bisa menyesuaikan diri di tahun kedua.
Aku bekerja berdasarkan shift. Kadang masuk jam delapan pagi, kadang masuk jam empat sore dan pulang tengah malam, atau bahkan masuk di hari-hari libur. Namun rotasi jadwal yang tak jelas itu justru membuatku tak lekas bosan. Ditambah lagi rekan-rekan kerjaku yang rata-rata umurnya sepantaran, jadi tak sulit melakukan sosialisasi.
Gilang, yang bernama lengkap Gilang Taufik Rubianto, adalah salah satu rekan kerjaku. Setidaknya demikian, sampai tiga bulan lalu ketika dia dapat promosi kenaikan jabatan menjadi Team Champion, yang secara tak langsung menjadikanku bawahannya. Pertemananku dengan Gilang sebenarnya sudah berawal sejak belasan tahun lalu. Dia adalah teman SMA-ku dulu di SLTA 114, sempat hilang kontak semasa kuliah, dan baru bertemu lagi di First Union Bank. Level-nya sudah senior saat aku bertemu dengannya karena dia satu tahun lebih awal mulai berkarir di sana. Dia sempat menjadi mentor-ku di tahun pertama aku bekerja. Dia benar-benar membantuku menyelami dunia perbankan. Dan aku sangat berterima kasih padanya. Untuk yang kesekian kalinya, aku beruntung mendapat kemudahan-kemudahan seperti ini.
Sejujurnya, semasa SMA dulu, hubunganku dengan Gilang hanya sebatas teman sekelas yang hampir jarang menyapa kecuali kalau sedang membutuhkan sesuatu. Tapi kini, keadaan telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kini, aku dan Gilang seperti tak terpisahkan. Kemana saja, kapan saja, selalu bersama. Bahkan kerap kali kami diolok-olok sebagai pasangan homo. Yah, tentunya itu hanya sebatas gurauan untuk memeriahkan suasana kantor saja.
Aku suka berbincang-bincang dengan Gilang karena dia selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang positif. Entah apa saja topik yang sedang dibahas, dia selalu bisa menemukan celah positifnya. Untuk urusan motivasi-motivasi kerja, dialah jagonya. Untuk urusan pribadi pun, tak jarang rekan-rekan kantorku yang berkeluh-kesah padanya. Gilang memang tipikal orang yang enak diajak bicara, baik bicara santai sampai hal-hal yang rumit sekalipun. Tak heran banyak petinggi kantor yang merasa segan padanya. Justru yang mengherankan mengapa dia baru mendapat promosi di tahun kelima-nya bekerja di sana. Namun, kembali lagi, itulah salah satu birokrasi-birokrasi membingungkan yang terjadi di First Union Bank.
Biasanya, aku dan Gilang menghabiskan waktu panjang di parkiran motor. Itupun kalau kebetulan sedang mendapat shift yang sama. Dan shift malam tentunya, karena Gilang selalu pulang tepat waktu untuk menjemput isterinya bila sedang dapat shift office hour. Kami juga sering mencuri-curi waktu di sela-sela jam kerja untuk merokok di tangga darurat. Meskipun sering tertangkap basah oleh satpam gedung –diceramahi dan dicatat namanya–, hampir setiap hari kami terus mengulanginya. Bahkan, sampai ada beberapa satpam yang malah ikutan merokok bersama kami.
Aku sanggup menghabiskan waktu berjam-jam bersama Gilang di parkiran motor. Hanya bermodalkan sebungkus rokok filter dan kretek sambil duduk di jok motor, sesekali dengan tambahan segelas teh atau kopi panas yang dibawa dari pantry kantor, kami bisa berbincang-bincang dari langit gelap sampai langit mulai berubah warna. Pada awalnya satpam jaga disana mondar-mandir setiap jeda sepuluh sampai lima belas menit, menaruh curiga pada kami. Namun, hari berganti hari dan bulan berganti bulan, para satpam pun mulai terbiasa dengan kebiasaan aneh kami itu.
Kami tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Selalu ada saja yang dibahas. Mulai dari kenangan jaman-jaman SMA, masalah-masalah di kantor berikut gosip-gosip yang beredar, kejadian-kejadian lucu atau yang memprihatinkan, wanita-wanita cantik, kehidupan rumah tangga, kehidupan pribadi masing-masing, sampai hal-hal yang masuk dalam kategori ‘berat’ seperti kehidupan di luar planet Bumi, kehidupan setelah mati, agama, politik, dan apapun saja. Ya, semuanya kami bahas. Apapun yang terlintas saat itu, langsung diutarakan tanpa sungkan-sungkan. Mengalir apa adanya.
Maka dari itulah, disinilah aku sekarang; duduk menunduk di atas jok Vespa tua-ku antara pukul dua atau tiga dinihari. Entahlah. Yang jelas, kami sudah berjam-jam di parkiran motor ini.
“....yah, kuakui memang aku tak pernah berada di situasi sepertimu ini, Ip,” kata Gilang sambil menunduk seakan ikut merasakan apa yang kurasakan. “Tapi....yang pasti, mau tak mau, kau harus moved on.”
Aku tak menjawab. Tak berdalih. Tak memberikan pembenaran. Namun tak juga menyetujui perkataan Gilang.
“Kejadian ini sudah lewat sekian tahun,” lanjutnya sambil mengangkat kembali wajahnya, berusaha melakukan kontak mata denganku. “Bukannya aku menganggap ini hal sepele. Tapi.....yah kurasa seharusnya kau sudah mengambil waktu yang lebih dari cukup buat melewati fase seperti ini.”
Gilang menegapkan posisi badannya, sebentar saja, lalu kembali membungkuk di atas jok Honda Supra-nya. Ia menggaruk-garuk pelipis kanannya, tampak berpikir. Entah memikirkan masalahku atau memikirkan topik lain untuk keluar dari keluhan klasik-ku ini.
“Intinya, life must go on,” katanya bersamaan sisa-sisa asap rokok dari dalam mulutnya. “Mau berapa lama lagi kau seperti ini, Ip? Sadar atau tidak, hal ini justru merusak dirimu sendiri. Dan, yang parahnya lagi, juga merugikan orang lain. Menurutmu gimana kalau sampai Donita tahu kau masih stuck di level ini? Dia pasti bakal kecewa berat, Ip. Dia itu benar-benar berharap banyak padamu. Seharusnya kau sadar.”
Bagaimanapun juga, suka atau tidak, kali ini aku harus menyutujuinya. Hidup memang harus terus berjalan. Kendati kadang ada kerikil-kerikil tajam menghambat di tengah jalan, tetap saja hidup tak boleh berhenti bergerak.
Sejujurnya, aku sendiri juga sampai tak habis pikir. Bagaimana mungkin aku bisa terperangkap dalam situasi pelik semacam ini? Benar kata Gilang, aku sudah menyia-nyiakan waktu cukup lama berada dalam fase ini. Seharusnya aku bisa lebih mensyukuri apapun yang kumiliki saat ini. Pekerjaan, materi, kesehatan, kehidupan sosialisasi, hubungan percintaan yang baru, dan banyak lagi lainnya yang sudah semestinya patut kusyukuri. Untuk perihal luka lama –seperti kutipan yang sering kudengar di film-film atau kubaca di buku-buku– ‘time will evantually heal’. Tapi, nyatanya, hingga kini masih saja aku begini. Terpenjara dalam kisah tragis masa lalu yang sudah basi. Yah, apa dayaku? Aku tidak bisa membohongi perasaan sendiri. Memang setiap hari aku sanggup berpura-pura di depan banyak orang dengan tampilan wajah ‘baik-baik saja’. Itu memang salah satu keahlianku sejak SMA; berakting. Tapi, apakah aku baik-baik saja?
Kuakui, urusan percintaan memang salah satu kelemahan terbesarku. Bukannya aku selalu gagal menjalin hubungan dengan kaum hawa, walaupun itu juga ada benarnya. Tapi justru masalahnya karena aku jarang sekali punya pacar. Bahkan, selama dua puluh delapan tahun hidup, aku pacaran tidak sampai lima kali. Pertama kali jaman SMP, cinta cinta monyet. Lalu berikutnya di bangku SMA, yang hanya sebulan saja masa efektifnya. Dan, selanjutnya ketika kuliah; masa-masa indah yang justru menjadi mimpi burukku hingga kini. Hubungan percintaanku yang terakhir adalah yang sedang kujalani sekarang bersama Donita, yang kupikir hanya sebatas status saja.
Menurut beberapa teman yang pernah mengkritikku, termasuk Gilang, masalahku hanya satu. Aku tipikal orang introvert. Memang ada benarnya. Aku cenderung menutup diri terhadap orang-orang, khususnya wanita. Sebagai pembelaan, itu kulakukan karena aku agak kesulitan dalam bersosialisasi. Yah, itu hanya alasan yang kubuat-buat saja untuk menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya aku kurang percaya diri kalau sedang berhadap-hadapan dengan wanita yang kusuka. Padahal, menurut pengakuan Gilang, aku bisa mendapatkan wanita mana saja yang kumau.
Secara pribadi, aku patut berbangga hati atas usaha Gilang menumbuhkan rasa percaya diriku. Memang, kalau sedang berdiri dihadapan cermin, aku semestinya bersyukur dikaruniakan fisik seperti ini. Aku tak memiliki cacat fisik. Postur tubuhku bisa dikatakan atletis, walau tinggi badanku tak mencapai satu koma tujuh meter. Rambutku bergaya kuno, terpangkas pendek dan disisir ke bawah, tak pernah berubah model sejak SMP. Bentuk wajahku bulat dengan bulu-bulu tipis menyisiri garis dagu. Yah, demikianlah fisikku selama entah berapa tahun terakhir.
Aku semestinya sadar bahwa aku bisa mendapatkan wanita mana saja yang kumau dengan usaha kecil. Tapi, nyatanya, aku malah mengandalkan keberuntungan dalam masalah percintaan. Untungnya, akhirnya, keberuntunganku dimulai waktu aku kuliah.