Aku, Dia & Kami

Joannes Rhino
Chapter #3

Chapter 3

Yang membangunkan tidurku bukanlah deringan jam waker, bukan alarm ponsel atau deringan telepon, dan juga bukan aroma kopi seperti dalam tayangan iklan televisi. Yang mengganggu tidurku kali ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Mimpi itulah yang menyentakku dengan mata terbelalak dalam beberapa hari terakhir. 

Kuhebuskan nafas panjang, merasa lega adegan tak bermoral yang baru saja kusaksikan tak benar-benar nyata. Namun ingatanku masih segar memandangi Emilia terbaring bisu dalam mimpi itu; tak bernyawa, tergolek di atas sebuah meja logam tanpa sehelai kain pun membalut tubuhnya. Ada seorang pria yang tengah menyiapkan sesuatu di meja lain sebelum mendekati tubuh Emilia. Aku tak menangkap wajah pria itu karena posisinya memunggungiku. Namun dengan jelas aku melihat alat penjepit dan pisau bedah tergenggam di kedua tangannya. Yang selanjutnya terjadi, tak sanggup kuungkapkan. 

Suara dentingan gembok gerbang rumah mengalihkanku dari memori yang menakutkan itu. Aku berguling turun dari ranjang dan menerka-nerka siapa gerangan yang bertamu sepagi ini. Aku bahkan tak tahu jam berapa sekarang.

Seorang wanita tampak berdiri di balik terali besi gerbang rumahku. Berumur sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh tahunan, wanita itu mengenakan kaus putih dan bercelana bahan dengan corak batik. Di tangannya terjinjing kayu lapuk penggilas cucian baju. Aku jadi teringat kemarin menyuruhnya datang hari ini. Dia adalah orang yang kubayar untuk bersih-bersih rumah. 

Mataku menyipit, lalu ada semacam binar-binar kuning berputar-putar di pelupuk mataku ketika membukakan pintu gerbang. Sengatan matahari memang amat hebat saat itu, dan kuperkirakan sore nanti hujan lebat. Setelah pintu gerbang terbuka lebar, wanita itupun segera bergerak setengah membungkuk melewatiku karena mungkin sudah tak tahan lagi terjemur bermenit-menit di luar. Kemudian, dia bergegas menuju kamar mandi untuk merendam cucian kotor sebagai awal tugasnya.

Namanya Ibu Jamilah. Tetapi aku memanggilnya ‘Bibi’ karena menurutku itu adalah panggilan yang sesuai dengan profesinya. Tidak terdengar terlalu merendahkan, dan tetap menghormati usianya. Dia kubayar dua ratus ribu per bulan untuk dua kali kehadiran dalam seminggu.

Tak membutuhkan waktu sampai dua jam kemudian, Ibu Jamilah pamit pulang. Dan, seperti biasa, dia selalu berkata, “Kak, saya pulang ya?” Sampai kini pun aku tak mengerti kenapa dia memanggilku kakak, padahal secara fisik sudah jelas dia lebih tua. Namun, apapun alasannya, akupun selalu menjawab, “Oh, iya Bi. Terima kasih ya.” Begitulah komunikasi yang terjadi di antara kami. Hanya sebatas sapaan basa-basi selama sekian tahun dia bekerja di rumahku. 

Begitu Ibu Jamilah pergi, aku bergegas siap-siap berangkat kerja. Saat itu sudah jam setengah tiga lewat, dan hari itu aku masuk shift jam empat sore. Aku bisa memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di kantor. Kurang-lebih sejam, atau empat puluh lima menit kalau jalanan tidak macet. Mungkin nanti, kuputuskan, singgah sejenak di warung makan dekat rumah saja.

Tak meleset dari perkiraan, aku sampai di kantor jam empat kurang sepuluh menit. Begitulah yang kulihat di kertas tiket parkir motor. Lantas, aku berjalan setengah berlari menuju pintu lift. Dan, dimulailah hariku.

Sapaan awal yang kudapat di lantai dua puluh enam bukanlah ‘selamat datang’, atau ‘bagaimana kabarmu hari ini’, atau ‘masuk jam berapa hari ini’, atau pernyataan-pernyataan basi lainnya. Justru yang kuterima untuk memulai hari adalah, “Ini dia orangnya baru datang, Mbak!” Begitulah tudingan salah seorang rekan kerjaku sambil sekonyong-konyongnya berteriak, seolah aku adalah gembong penjahat yang paling dicari-cari seantero lantai dua puluh enam. 

Tersentak, aku mundur selangkah. Ekspresi datar wajahku langsung kurias dengan kerutan-kerutan di dahi. Aku bingung. Tentu saja. Atau, mungkin lebih tepatnya panik. Aku sadar bahaya mengancam di depan mata. Hanya saja aku tak bisa menduga apa kesalahanku kali ini. Mungkinkah semalam aku lupa mengumpulkan berkas-berkas yang seharusnya dibukukan pagi tadi? Atau, apakah aku salah menuliskan nomor rekening nasabah yang ingin melakukan pembayaran manual? Aku sama sekali tak punya petunjuk apa kesalahanku. Kosong. Sekosong isi dompetku hari itu.

Aku digiring, atau lebih tepatnya diarak, oleh beberapa rekan kerjaku menuju ke tempat yang paling mengerikan di lantai dua puluh enam. Yah, setidaknya menurutku demikian. Lokasinya ada di sudut ruangan, mempet jendela lebar dengan latar belakang angkasa raya. Sosok wanita berbadan besar dan super gemuk berdiri bersandaran meja kerjanya, menantiku. Tangannya dilipat di depan dada. Aku jadi teringat guru matematika-ku waktu SMP. Dia selalu melipat tangannya seperti itu sebelum memukul telapak tanganku sebagai hukuman karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Lantas, aku meremas-remas kepalan tanganku, mempersiapkan diri, berjaga-jaga kalau seandainya kejadian serupa terulang lagi.

Namanya Rini Amalia, namun lebih dikenal dengan sebutan ‘Si Nyonya Besar’. Entah siapa yang pertama kali berani menjulukinya demikian. Yang pasti, sebutan itu sudah ada jauh sebelum aku bekerja di sana. Umurnya antara empat puluh sampai lima puluhan, janda beranak dua setelah diceraikan suaminya sekian tahun lalu, hampir tak pernah terlihat tersenyum pada siapapun, dan sama sekali tak mempunyai selera humor. Rasanya cukup masuk akal kenapa dia dijuluki ‘Si Nyonya Besar’. 

Dia persis seperti gambaran orang yang tidak menarik dan kurang memenuhi syarat dalam kehidupan bersosialisasi, yang sejak lahir tertarik magnet aroganisme dan membuat orang-orang seperti diriku adalah kudapannya sehari-hari. Orang semacam ‘Si Nyonya Besar’ ini ada dimana-mana, dalam bidang pekerjaan apapun, duduk di kursi paling tinggi bertajuk pimpinan dan mengoperasikan mesin berbahan bakar kekuasaan. Dan, inilah orang yang akan kuhadapi sebentar lagi.

Kucoba melemparkan senyum basi padanya sambil mengangguk dan setengah membungkukkan badan, bersikap seolah-olah aku adalah kacungnya yang siap melakukan apapun untuknya. Namun dia malah semakin menyipitkan mata padaku, mempertegas kebengisannya. Tentu aku tak berani menatap mata yang tajam itu, walau sesekali mencuri lirik dokumen yang ada di genggamannya.

“Arief,” ucapnya singkat yang lalu berdecak sambil bergeleng-geleng.

“Iya, Mbak,” jawabku dengan tampilan wajah sepolos mungkin, berharap ekspresi lugu itu dapat menyelamatkanku.

“Kamu ini tolol, atau sudah tidak mau bekerja lagi di sini!” teriaknya sambil membanting dokumen di genggamannya ke meja.

Spontan, semua kegiatan di dekat sana berhenti statis. Kepala demi kepala, satu per satu, bermunculan dari balik sekat-sekat tempat bekerja. Bahkan, beberapa pekerja di ujung ruangan pun pelan-pelan mulai berkerumun mendekat, entah hanya untuk memuaskan rasa keingin-tahuan saja atau mereka tak mau sampai ketinggalan kejadian hebat yang bisa digosipkan saat jam makan siang nanti. 

Aku menunduk, tak sangup celingukan melihat sekeliling, tak sanggup melihat semua mata yang pastinya sedang mengarah padaku. Aku berharap wajah pucatku tenggelam di balik kerah kemeja, dan biar hilang saja sepanjang hari itu. Bibirku pun kian merapat, tak berani berucap satu patah kata pun, tak mampu berdalih karena aku sendiri belum tahu sedang terlibat dalam masalah apa.

“Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini!” semprot ‘Si Nyonya Besar’ melanjutkan kemurkaannya yang rasanya mustahil berakhir dalam waktu singkat. Dia lantas menjatuhkan bokong besarnya ke kursi kerja. Samar-samar aku mendengar poros kursi berdecit saat didudukinya, seolah berteriak kesakitan atau syok berat karena bobot yang tak semestinya itu.

“Kamu ini sebenarnya kenapa sih? Apa sedang ada masalah pribadi?” tanyanya dengan nada agak stabil, bersikap seolah-olah peduli akan kehidupan pribadi semua bawahannya. Padahal sudah bukan rahasia lagi, semua orang di lantai dua puluh enam tahu kalau dia tipe orang yang memiliki sifat individualisme tinggi. Mungkin yang ada dalam pikirannya hanya satu; menjadikan pekerjaan sebagai kehidupan sosialnya karena dia tak memiliki kehidupan lain di luar kantor. Bahkan mungkin, hanya dugaanku saja, dia bisa mencapai pada titik orgasme yang luar biasa bila memenuhi target penjualan yang diinginkan perusahaan. Pekerjaan adalah segalanya. Pekerjaan adalah kehidupan sosialnya, kehidupan rumah tangganya, kehidupan seksualnya, dan kehidupan romantisme-nya. Segalanya.

Aku masih berakting lugu, sedikit menampilkan wajah idiot seperti Tom Hanks dalam film Forest Gump, ketika bergeser masuk ke sekat tempat kerjanya. Bibirku masih terkunci rapat-rapat, takut kalau salah ucap satu kata saja emosinya kembali meledak. Kemudian, aku mendengar nada ketus keluar dari mulutnya, “Sudah berapa lama sih kamu kerja di sini?”

Ingin rasanya aku berbohong dengan menjawab ‘baru sebulan’ atau ‘masih dalam masa training’ sehingga dapat dimaafkan apapun kesalahanku ini. Namun, tentunya ‘Si Nyonya Besar’ tak sebodoh itu. Dan, akhirnya, lekatan bibirku pun terlepas. “Empat tahun, Mbak.”

“Empat tahun?” gumamnya, seolah baru mengetahui hal itu. “Dan bisa-bisanya kamu buat ketololan seperti ini?” Dia lantas memutar poros kursi kehadapan layar komputer, lalu kesepuluh jemarinya mulai menari lihai di atas papan keyboard. Program demi program pun bermunculan di layar datar berukuran empat belas inci itu.

“Masih ingat dengan nasabah ini?” katanya sembari menggeser badannya yang sebesar anak gajah dari perangkat komputer.

Aku membungkuk, menyipitkan mata, memerhatikan entah apa yang dia maksud, lalu bergeleng pada detik kemudian. Tentunya ‘Si Nyonya Besar’ melihat reaksiku. “Ini ada ID-mu. Mau bohong?” tegasnya sekaligus menggiring mataku untuk mengamati tujuh karakter yang di bold oleh kursor di layar. AB86458. Ya, itu memang kombinasi pengenalku untuk melakukan transaksi perbankan. 

“Em....saya lupa, Mbak,” entengku menjawab, padahal aku tahu betul itu jawaban yang salah. 

“Lupa?” Dia menyeringai sambil bergeleng-geleng, lalu tertawa sinis. “Bagaimana kamu bisa lupa mencairkan deposito nasabah sebesar dua ratus juta tanpa konfirmasi?”

Terbelalak, aku sendiri tak sanggup mempercayainya. Dua ratus juta itu bukan jumlah sedikit. Apalagi transaksi deposito jarang sekali kudapat. Dalam sebulan, paling banyak empat atau lima kali saja. Rasanya mustahil kalau aku sampai lupa.

“Kamu tahu? Perusahaan financial lost sampai puluhan juta karena ketololanmu ini!” lanjutnya sambil memutar poros kursi menghadapku. “Belum lagi nasabahnya itu orang hukum. Katanya dia mau bawa masalah ini sampai ke pengadilan. Kita bisa kena financial lost lebih banyak lagi. Itu juga belum termasuk kredibilitas kita terancam kalau sampai media tahu!”

Ia menghela nafas panjang, terdengar seperti suatu kepasrahan. Matanya melirik lesu monitor komputer sambil bergeleng-geleng. “Rif, Rif,” katanya. “Ini hal yang sangat basic sekali.” Ia mendongak dan menatapku dalam-dalam, seolah ingin tahu apa yang ada dalam pikiranku saat itu. “Kenapa sih kamu bisa sampai setolol ini?”

Sekali lagi, kata ‘tolol’ terucap darinya. Mungkin dia pernah punya pengalaman psikis tentang kata itu, atau entah kenapa. Yang pasti, aku sudah mulai terbiasa mendengarnya. Tak lagi merasa sakit hati. Bagiku, kata ‘tolol’ yang diucapkannya tak lebih menjadi sekedar suara sumbang yang lewat dalam gendang telingaku dan tak sempat tercerna oleh otak.

Secara pribadi, kuakui, kesalahan yang kulakukan kali ini sangat fatal. Belum lagi kesalahan-kesalahanku sebelumnya. Aku jadi berpikir, mungkin memang ada yang salah pada diriku belakangan ini. Tapi, rasanya aku baik-baik saja. Yah, setidaknya begitulah yang kurasakan. Aku baik-baik saja. Maka dari itu, di luar sadar, aku berangguk.

Melihat reaksiku, ‘Si Nyonya Besar’ berdengus sinis. “Jadi kamu menyetujui ketololanmu sendiri!”

Kendati masih belum teringat keteledoran yang kulakukan, aku akhirnya bicara pelan, “Maaf, Mbak. Mungkin waktu itu saya sedang tidak fokus. Jadi....” Kuselesaikan kalimat penyesalanku dengan menggaruk-garuk kulit kepala seolah lupa ingatan sejenak, karena memang demikian keadaannya. Akting idiot Tom Hanks pun tak berhenti kuperankan, masih berharap datangnya belas kasihan.

Sekali lagi dia berdengus sinis, kali ini sambil menyeringai. “Tidak fokus ya?” sindirnya. “Gimana kalau kamu saya suruh menelpon nasabah ini untuk menjelaskan ketololanmu?”

Aku tahu itu pertanyaan retoris. Bagaimana mungkin manajemen setuju bila aku yang maju menghadap si nasabah dan menjelaskan masalah ini? Yang ada, si nasabah akan merasa dilecehkan dan langsung menarik semua dananya dari First Union Bank. Tentunya manajemen tak mau kehilangan salah satu aset berharganya. 

Dia berdecak. “Hal-hal seperti ini semestinya tidak perlu terjadi, Rif.”

“Iya, Mbak. Saya tahu, Mbak. Maaf. Ini tidak akan terulang lagi,” jawabku dengan suara parau dan memelas. 

“Apa jaminannya?”

Lihat selengkapnya