"Al, ini kayak gimana sih ngerjainnya?"
Pagi itu aku datang ke sekolah lebih awal. Pukul enam pagi, aku sudah tiba di sekolah. Aku rela datang pagi-pagi begini hanya demi membantu Fara menyelesaikan PR matematika, yang menurut anak-anak sekelasku waktu itu sih cukup sulit. Maklum saja waktu itu rata-rata murid di sekolahku belum mempunyai handphone canggih yang bisa dipakai untuk memotret tugas atau mencari jawabannya di situs web internet.
"Nomor berapa?"
Sayangnya pagi itu, pandangan dan pikiranku tak terfokus untuk membantu Fara. Ada sesuatu di luar kelas yang membuatku tertegun.
"Lah ini dari tadi gua nunjuk nomornya," jawab Fara.
"Gue males liatin buku lo," ucapku tanpa mengalihkan pandanganku.
"Lo, liatin apa sih dari tadi?"
Fara yang kesal saat itu pun, mulai mengikuti arah pandanganku. Dia pun berdecak sebal begitu mengetahui bahwa aku sedang memandangi Kak Daniel.
"Katanya lo benci banget sama dia."
Aku yang tersadar akan sikapku waktu itu pun, segera mengalihkan pandanganku dari Kak Daniel dan menatap Fara dengan wajah datar.
"Ya, iya sih. Tapi gua bencinya juga gak sampai buang muka juga kali kalau setiap lihat dia."
"Terus ngapain di liatin sampai sebegitunya?"
"Dia tiap hari emang selalu begitu?"
"Begitu apanya?"
"Baca Al-Qur'an. Atau cuma karena ada gue aja dia jadi begitu?"
Kelasku saat itu berada di samping masjid. Sehingga aku dapat melihat dengan jelas, Kak Daniel sedang membaca Al-Qur'an di halaman masjid.
"Percaya diri lo terlalu tinggi. Makanya kalau datang, jangan habis Indonesia raya mulu," cibir Fara.
Aku mengeryitkan dahiku tanda bingung. Di sekolahku ini setiap paginya selalu ada tadarus, setelah itu dilanjutkan dengan menyanyi Indonesia Raya secara bersama-sama. Hal ini dilakukan di dalam kelas. Kita bisa mendengar tadarus dan instrument lagu Indonesia Raya melalui speaker yang terpasang di setiap kelas.
"Jangan-jangan dia anak rohis?" tebakku.
"Iya. Tiap pagi dia mulu yang bacain tadarus. Suaranya ya Al, bagus banget. Adem banget didengarnya," cerita Fara antusias.
Sekilas aku menatap raut wajah Fara. Seketika ada perasaan tak nyaman dalam benakku. Hanya perasaanku saja atau Fara memang menyukai Kak Daniel? Namun dugaanku saat itu hanya ku simpan sebagai rahasia kecilku saja. Aku tak berani menayakan langsung kepada Fara. Lagipula beberapa bulan yang lalu ia tampak mendukungku dengan Kak Daniel, nggak mungkin kan perasaan seseorang bisa berubah secepat itu?
"Ah gak mungkin. Mustahil orang kayak dia bisa sealim itu," ucapku berusaha mengalihkan prasangkaku.