Aku, Dia, dan Masa Lalu

Nur Aini Rasyid
Chapter #8

Bab 7

"Allaney!"

Suara panggilan Kak Rafa hari itu menyadarkanku dari lamunan. Entahlah, semenjak perbincanganku dengan Bang Rio kemarin, pikiranku jadi kosong. Kalau kalian tanya pun, aku juga tak tahu apa yang kupikirkan. Hanya saja, kalau diingat-ingat perasaanku saat itu, bisa dibilang, sedikit sedih.

"Kenapa, Kak?"

"Dari tadi kayaknya kamu ngelamun aja. Kenapa?"

Hari itu adalah Hari Rabu. Langit terlihat mendung, tapi tak menghentikan aktivitas ekskul kami pada sore itu. Kami sedang melakukan latihan fisik. Hari Rabu memang bukan jadwalnya untuk melakukan latihan fisik, tetapi kakak kelasku menambahkan beberapa jadwal baru untuk latihan fisik. Karena dua minggu lagi angkatanku akan melakukan Diklat atau pelantikan menjadi anggota muda ekskul Remaja Pecinta Kemping.

Mungkin, aku lupa menjelaskannya di awal. Padahal ini penting sekali untuk dijelaskan agar kalian lebih mengerti tentang kisahku. Di dalam ekskulku, ada lima tingkatan anggota. Yang pertama itu calon anggota, dimana calon anggota merupakan seluruh siswa baik kelas 10 atau kelas 11 yang mendaftarkan diri di awal tahun ajaran. Yang kedua adalah anggota muda, yaitu para calon anggota yang telah melakukan Diklat atau pelantikan.

Berikutnya ada anggota pengurus, dimana mereka merupakan anggota muda yang telah serah terima jabatan atau mungkin bahasa gaulnya regen. Nah, yang keempat ini merupakan Dewanya atau paling ditakuti di eskulku, yaitu anggota Alumni. Mereka adalah anggota pengurus yang telah selesai masa jabatannya. Anggota Alumni bersifat kekal, mengikat, dan berkuasa sampai mereka meninggal. Ada juga yang dinamakan simpatisan, yaitu mereka yang ikut kegiatan ekskul tetapi tidak memiliki nomor anggota. Kalau bahasa kasarnya sih, anggota cabutan.

        

Oke, kita balik lagi ke ceritanya.

"Nggak papa kok, Kak. Cuma capek doang habis lari," jawabku sambil tersenyum.

"Oh, gitu. Ya sudah jangan lupa ya, Hari Sabtu kita ada materi terakhir."

Setelah mengatakan itu, Kak Rafa pun berlalu dan menyusul anggota pengurus lainnya yang telah berjalan di depan. Aku pikir saat itu, pikiranku akan melayang lagi. Namun ternyata tidak. Setelah Kak Rafa pergi, Kak Daniel berjalan menyejajariku.

"Kalau seandainya lo mau mati, jangan buat surat wasiat yang menyalahkan eskul ini ya! Apalagi latihan fisiknya," ucap Kak Daniel dengan wajah datar dan tanpa melihatku.

Aku memberhentikan langkahku dan menatapnya heran. "Maksud Kakak?"

"Wajah lo."

Aku memegang wajahku, memastikan kalau setiap senti dari wajahku ini tak ada yang aneh. "Wajah saya kenapa?"

"Kayak orang mau mati. Sekarat. Gak ada tanda-tanda kehidupan."

Sontak aku memukul bahunya. Cukup keras, seperti halnya aku memukul Bang Rio. Tapi, pukulan itu untungnya tak menarik banyak perhatian.

"Lo ngapain mukul gue?" tanya Kak Daniel seraya memegang bahunya.

Lihat selengkapnya