Setelah kejadian dayung saat itu tak ada hal istimewa lainnya yang terjadi. Cerita ini takkan berlanjut ke adegan nafas buatan atau semacamnya. Kuberitahu pada kalian, kisahku ini adalah kisah nyata. Bukan sebatas film dan kisah romantis lainnya.
Saat itu air sungai tak masuk kedalam tubuhku dengan begitu banyak. Aku pingsan karena aku kelelahan saja. Saat aku bangun, yang terlihat di pelupuk mataku hanyalah wajah-wajah teman ekskulku yang terlihat khawatir sekaligus lega.
Saat perjalan pulang di kereta, aku dan teman-teman seangkatanku banyak bercerita tentang kejadian dayung tadi. Puspa berbicara tentang para alumni yang sangat hebat dalam melakukan CPR kepadaku. Katanya sih, adegan tersebut sangat keren sekali. Aku sih tentunya tak heran. Karena dari apa yang kudengar, alumni ekskulku ini banyak yang berprofesi sebagai dokter, relawan, atau aktivis di bidang sosial lainnya.
"Eh, Al lo harusnya berterimakasih sama...."
"Iya, iya gue tahu. Nanti gue bakal bilang makasih sama Kak Rafa," ujarku memotong perkataan Nisa.
"Kok cuma Kak Rafa doang sih?"
"Terus sama siapa lagi? Oh, iya alumni gue lupa. Waktu Diklat deh gue bakalan bilang makasih."
"Kak Daniel gimana? " Nisa bertanya heran.
"Kak Daniel kan ikut turun juga ke sungai buat nyelamatin lo Al, bareng Kak Rafa," tambah Puspa.
Aku mengeryitkan keningku tanda heran. Seingatku hanya Kak Rafa saja yang berenang menghampiriku. Aku tak melihat keberadaan Kak Daniel disana. Ataukah saat itu ia berada di dalam air bersama lumpur-lumpur?
"Masa sih?" tanyaku tak yakin.
"Lah lo gimana sih. Atau mau gua panggil Kak Danielnya ke sini?" ucap Satria sewot.
Saat itu memang kakak kelas ekskulku berdiri agak jauh dari tempat kami berada. Ya maklumlah ya, untuk kalian para pengguna transportasi kereta, pasti tahu saat-saatnya gerbong ramai penuh sesak oleh penumpang. Kalian akan mudah berpisah dengan teman kalian saat penumpang baru, masuk ke gerbong.
"Gila kali lo," ucapku sebal.
"Ya, biar lo percaya. Nih gue panggil ya. Kak Daniel.. Kak Daniel..," teriak Satria.
Untungnya saat itu tanganku masih mampu bergerak untuk memukul bahu Satria. Pukulan itu mampu membuat Satria memberhentikan panggilannya dan merintih kesakitan. Alih-alih memerhatikan Satria, pandanganku melirik pada tempat kakak kelas berada. Aku menghela nafas lega, karena sepertinya mereka tak bisa mendengar teriakan Satria. Kondisi kereta saat itu begitu berisik. Tak hanya penumpang dalam gerbong, namun penumpang diatas gerbong pun mampu meredamkan teriakan Satria saat itu.
Setelah itu kami masih melanjutkan pembicaraan kami hingga kereta berhenti di Stasiun Gambir. Dapat kudengar beberapa helaan nafas dan perkataan lega dari teman-temanku, begitu kami keluar dari gerbang kereta. Bagaimana tidak? Kami menaiki kereta ekonomi tanpa AC dan begitu sesak. Tentunya keluar dari neraka tersebut dapat membuat kami lega.
"Kalian dijemput di sekolah atau gimana?" tanya Kak Rey begitu kami berada di pintu keluar stastiun.
Beberapa temanku menjawab pertanyaan Kak Rey. Ada yang mengatakan bahwa ia dijemput oleh orangtuanya di stasiun, ada yang bilang dijemputnya di sekolah, bahkan ada juga yang mengatakan ingin pulang sendiri karena rumahnya dekat dengan stasiun.
"Yang mau ke sekolah bareng Kak Daniel ya. Saya dan Kak Rafa bakalan nungguin kalian yang mau dijemput di sini. Yang pulang ke rumah sendiri tolong kontak Kak Rani ya, kalau kalian sudah sampai di rumah," ucap Kak Rey.
Setelah Kak Rey mengatakannya, teman-teman seangkatanku pun mulai sibuk. Ada yang berkumpul dengan Kak Daniel, ada yang bersama Kak Rey dan Kak Rafa, ada juga yang bertanya nomor telepon rumah kepada Kak Rani. Aku sendiri memilih untuk bersama Kak Daniel. Tapi, jangan salah artikan kata bersama ini ya. Maksudnya aku akan kembali ke sekolah terlebih dahulu. Setelah itu aku akan pulang sendiri ke rumah memakai sepeda yang kuparkir di halaman sekolah.
Sebelum pergi berkumpul bersama Kak Daniel, aku menyempatkan diri menghampiri Kak Rafa. Aku mengucapkan terima kasih atas pertolongannya tadi kepadaku. Saat itu, Kak Rafa membalas perkataaanku dengan menyarankan agar aku lebih berhati-hati untuk kedepannya.
Pukul setengah enam sore, Kak Daniel membawa kami pulang ke sekolah. Perjalanan pulang dari stasiun ke sekolah menggunakan angkutan kota. Sebenarnya sih, jarak stasiun ke sekolah tidak terlalu jauh. Tapi dikarenakan macetnya Jakarta yang tak pernah berkompromi, aku dan teman-temanku tiba di sekolah pukul setengah tujuh malam.
"Eh, uang gue kemana ya?" ucapku panik begitu ingin membayar jasa supir angkot.