Aku, Dia, dan Masa Lalu

Nur Aini Rasyid
Chapter #11

Bab 10

"Aduh!"

Pagi itu aku mengeluh. Sudah bersusah payah aku mengayuh sepeda, namun tetap terlambat juga. Memang aku belum sampai sepenuhnya di sekolah. Namun dari kejauhan aku dapat melihat kerumunan siswa sedang berdiri di luar pagar. Pastilah gerbang sekolah sudah ditutup.

"Eh Nem lo telat?"

Galih yang baru saja datang saat itu menyapaku. Aku mengerlingkan mata jengah atas panggilannya terhadapku.

"Nama gue Allaney. Harus berapa kali sih gue bilang?" bentakku kesal.

"Ngomel mulu lu kayak emak-emak."

Aku berdecak kesal. Saat itu aku ingin membalas perkataannya lagi, namun terdengar suara riuh dari kerumunan siswa yang berdiri di depan gerbang. Tak lama kemudian, nampak gerbang sekolah terbuka. Aku dengan sigap pun langsung bersiap mengayuh sepedaku. Tapi, niatku untuk menuju sekolah terhalang oleh cengkraman tangan Galih di lenganku.

"Lo mau kemana?" tanyanya.

"Ya, ke sekolah lah. Itu gerbang sudah dibuka."

"Lo gak liat itu ada Pak Darji di sana?"

"Terus kenapa?" tanyaku tak mengerti.

"Kalau ada dia pasti kita disuruh ke kesiswaan," ucapnya memberitahu.

"Iya gue tahu. Paling cuma suruh tanda tangan surat perjanjian doang."

"Lo sudah pernah ke kesiswaan?" tanya Galih tak percaya.

"Iya."

"Wah, gila. Lo mau cari mati ke sana? Dua kali tanda tangan surat perjanjian, orang tua lo yang bakal dipanggil."

Aku menatapnya terkejut. Seketika pun saat itu otakku memberikan respon untuk panik. "Terus gimana dong?"

"Tenang gue tahu caranya."

Saat itu aku mengikuti seluruh ucapan Galih agar tak masuk ruang kesiswaan untuk kedua kalinya. Aku menitipkan sepedaku di warung dekat sekolah, tentunya tidak gratis. Aku memberikan seluruh uang jajanku hari itu agar penjaga warungnya mau dititipkan sepedaku. Setelah itu aku mengikuti Galih. Ia menuntunku ke bagian area belakang sekolah.

"Kita lewat tembok yang ini," ucapnya begitu kami sampai di area belakang sekolah.

Aku melihat tembok itu sejenak. Tembok itu cukup tinggi dan dipenuhi dengan kawat berduri di bagian atasnya.

"Bahaya banget," ucapku agak takut.

"Lo korbanin tas lo buat jadi pijakan."

"Kenapa tas gue? Kan tas lo ada. Tas gue itu terlalu berharga buat dijadiin pijakan."

Lihat selengkapnya