Aku, Dia, dan Masa Lalu

Nur Aini Rasyid
Chapter #12

Bab 11

Aku menatap lamat surat peringatan tersebut. Sejenak kemudian ada rasa penyesalan yang terbesit di benakku. Seandainya saat itu aku tidak mengikuti Galih tak akan menjadi separah ini akibatnya. Orangtuaku mungkin memang akan dipanggil ke sekolah jika aku tetap masuk hari itu. Tapi itu tetap lebih baik karena aku hanya menandatangani surat perjanjian bukan surat peringatan. Terlebih dalam surat peringatan ini tertulis jelas penyebab pemanggilan orangtuaku ke sekolah. Alasan terlambat jauh lebih baik daripada memanjat tembok sekolah.

Aku menghela nafas pasrah. Pagi ini harus ku serahkan kertas tersebut ke Mama. Pihak sekolah telah menanyaiku berkali-kali tentang pemanggilan orang tuaku. Ya, setelah mendapatkan surat tersebut aku tak langsung memberikannya pada Mama. Namun, besok adalah peringatan terakhir dari pihak sekolah. Jika orang tuaku tak datang, maka mereka yang akan mendatangi rumahku secara langsung.

Aku memasukkan seluruh buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Setelah itu kugenggan erat surat peringatan ditanganku. Lantas kumantapkan hatiku untuk melangkah menemui Mama.

"Eh, Nata. Ini Mama buatin bekal buat kamu," ucap Mama begitu aku tiba di ruang makan tempat beliau berada.

Aku tersenyum tipis. Kemudian mengambil bekal yang diletakkan di atas meja dan kumasukkan bekal tersebut ke dalam tas.

"Jangan bilang-bilang Rio ya. Mama cuma buatin bekal buat kamu. Hari ini ada Latihan fisik yang terakhir kan?" ucap Mama sambil berbisik-bisik.

Aku mengangguk pelan. Benar saja, hari ini ada latihan fisik yang terakhir. Akhir pekan nanti aku akan menjalani pelantikan.

"Eh, kenapa nih? Kok bisik-bisik?"

Tiba-tiba saja Bang Rio muncul dengan wajah sumringahnya. Aku dan Mama pun langsung bersikap seperti biasa. Menyadari itu Bang Rio pun mantap Mama curiga, "Pasti Nata dibikinin bekal lagi kan?"

Mama menggeleng pelan. Namun bukan Mama namanya kalau beliau dapat berbohong kepada putranya. Tak lama pun, senyum kecil muncul di wajah Mama.

"Tuh kan bener!" seru Bang Rio.

"Bang Rio kenapa pagi-pagi sudah semangat banget?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Abang lolos tes seleksi berkas untuk beasiswa ke Jepang," ucapnya bangga.

Mama yang mendengarnya pun terkejut senang dan tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Namun, berbanding terbalik denganku. Aku tak mendengar kabar sedikitpun bahwa Bang Rio sedang mendaftar beasiswa. Melihat wajahku yang bingung, Bang rio tersenyum kecil lantas mengacak-acak rambutku sambil berkata, "Makanya jangan fokus mulu sama kegiatan ekskul, sampai abangnya gak diperhatikan."

Aku mendengus sebal. Berusaha menyingkirkan tangan Bang Rio dari puncak kepalaku. Seketika hatiku menjadi resah. Bukan karena aku tak senang dengan kabar Bang Rio. Tapi kenapa harus ada berita sebahagia ini ketika aku melakukan kesalahan besar?

"Ayo Nata, abang anterin ke sekolah. Pulangnya gak usah khawatir, abang kasih uang nih buat naik angkutan umum. Abang jadi orang baik deh buat hari ini."

'Dan kenapa pula semuanya harus baik seperti ini sekarang?'

"Ya, sudah ayo bang!" ucapku agak terburu-buru.

Bang Rio yang melihat tingkahku pun mulai mengajukan protes. Katanya saat itu hari masih sangat pagi lantas mengapa harus terburu-buru? Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung menyuruh Bang Rio untuk keluar rumah dan memanaskan motornya. Bang Rio pun menuruti perintahku tanpa curiga sedikitpun. Setelah Bang Rio pergi, barulah aku menyerahkan surat yang kugenggam sedari tadi kepada Mama.

"Mama ini ada surat dari sekolah. Dateng besok, ya. Nata minta maaf."

Setelah mengatakan itu aku berlalu pergi meninggalkan Mama. Kali terakhir yang ku ingat adalah raut wajah Mama yang tampak biasa-biasa saja. Mama mengira bahwa itu adalah surat pemberitahuan biasa dari sekolah. Karena sampai detik terakhir hidupnya pun ia tak pernah menyangka bahwa aku akan berbuat hal bodoh seperti itu.

Lihat selengkapnya