"Sedih sekali mbak, saya mendengarnya," ucap Bu Surti dengan wajah simpati.
Aku menghela nafas sejenak. Lantas kemudian menengadahkan kepalaku, menatap lamat langit-langit ruangan. "Fortunata itu memang berarti keberuntungan. Mereka berharapa Allaney Fortunata dapat membawa keberuntungan. Tapi, ada satu hal yang mereka lupakan."
"Apa, mbak?"
"Anak itu lahir pada tanggal tiga belas Maret, tahun sembilan puluh tiga. Kata orang angka yang cantik. Tapi angka tiga belas itu merupakan angka sial. Bahkan seluruh dunia pun mengakuinya. Dengan adanya angka tiga belas, menandakan tanggal tersebut akan menunjukkan kesialan atau sesuatu yang buruk akan terjadi."
Bu Surti terdiam, sepertinya ia berusaha mencerna maksud perkataanku barusan. Demi mencairkan suasana yang hening, aku berkata, "Ibu mau saya lanjutkan ceritanya?"
Bu Surti menggelang pelan. "Ibu orang yang perasa, mbak. Mudah simpati dan kasihan dengan orang lain. Ibu gak mau mendengarkan kelanjutan kisahnya yang pahit. Lagipula sepertinya anak ibu sebentar lagi sampai. Bu Surti pamit dulu ya, mbak."
Bu Surti pun meninggalkanku dan berjalan keluar dari ruang kantorku. Aku menatap punggungnya yang menjauh hingga hilang dibalik pintu. Ada satu hal yang tak kuberitahukan padanya. Ceritaku ini tak akan sepahit kopi, tak akan pula semanis gula. Baiklah sepertinya aku akan kembali fokus bercerita pada kalian.
***
Hari itu aku menangis sejadi-jadinya di kamarku. Tangis dalam diam adalah salah satu kehebatanku. Aku dapat melakukannya dengan baik. Saat itu tak ada hal yang lebih menyakitkan selain kenyataan. Hatiku terasa sakit, bahkan luka ditubuhku pun tak sebanding sakitnya. Tapi sepertinya ada satu hal yang kulupakan saat itu.
"Kak Daniel."
Aku melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku pun mengusap air mataku dengan kasar. Kemudian langsung beranjak dari ranjangku dan mengambil tiga lembar uang sepuluh ribuan di dompetku. Dengan tergesa-gesa aku melangkahkan kaki keluar rumah.
Aku menghela nafas sejenak begitu sampai di ambang pintu rumah. Dapat kulihat Kak Daniel masih berada di depan rumahku. Sosoknya yang berdiri dekat tiang listrik tampak membelakangiku.
'Selama ini masih nunggu aja disitu. Takut banget uangnya gak dibayar,' umpatku dalam hati.
Aku pun menghampirinya dan memukul bahunya pelan begitu aku sampai di belakangnya. Ia nampak tak begitu terkejut. Kak Daniel membalikkan tubuhnya dengan perlahan.
"Nih uangnya. Ngapain sih masih disini? Dunia gak akan kiamat besok, Kak. Saya pasti bayar kok," cerocosku.
Alih-alih menjawab ataupun mengambil uangnya, Kak Daniel malah memegang tanganku. Ia memperhatikan tanganku. Tak begitu lama, karena langsung kutarik tanganku dan menyembunyikannya dibalik tubuhku.
"Tangan lo kenapa?"
"Bukan urusan, kakak," jawabku sambil melihat ke arah lain.
"Gue disini bukan karena uangnya."
"Terus?"
"Lo bisa cerita ke gue kalau ada masalah."
Entah kenapa saat mendengarnya emosiku meningkat. Perkataan itu sama sekali tak bisa membuat hatiku meleleh saat mendengarnya. Tatapannya adalah hal yang tak bisa kutoleransi. Dia pikir dia siapa? Bisa melihatku dengan tatapan simpati dan menyedihkan seperti itu? Tanpa pikir panjang, aku melemparkan uang tersebut ke wajah Kak Daniel.
"Kita gak sedekat itu untuk bisa cerita satu sama lain. Lagian masalah saya ini tak akan bisa dimengerti oleh manusia seperti Kakak."
Kak Daniel menatapku heran, lalu berkata, "Gue? Emangnya gue manusia yang kayak gimana?"
"Masalah saya gak akan dimengerti oleh mereka yang sedari awal gak punya orang tua dan merasakan kasih sayangnya. Apalagi anak buangan yang tinggal di panti asuhan kayak Kakak," sarkasku.
Benar-benar bodoh sekali. Seketika aku menyesali perkataanku setelah mengatakannya. Aku benar-benar berharap saat itu Kak Daniel merasa tersinggung dan marah kepadaku. Dengan begitu akau dapat meminta maaf dengan lebih leluasa. Namun ia malah menciptakan suasana tegang dan canggung seperti ini. Dia tak memberikan reaksi apapun. Ia hanya diam dan menatapku kosong.
Aku yang tak enak hati saat itu pun jadi salah tingkah didepannya. Aku mengambil uang yang barusan saja kulempar dan pergi masuk ke dalam rumah tanpa berbasa-basi. Hal kedua yang kusesalkan adalah adegan mengambil uang tersebut. Kenapa aku harus mengambil uang tersebut, setelah membuat drama luar biasa di hadapannya. Astaga aku benar-benar harus pergi ke bengkel untuk memperbaiki otakku. Otakku ini benar-benar sudah tidak berfungsi!!
"Lo benar-benar sudah gila, Allaney Fortunata!"
Aku merutuki diriku sendiri begitu sampai di dalam kamar. Sepanjang malam aku terjaga lantaran memikirkan kesalahanku itu. Berkali-kali aku menampar mulutku dan merutuki diriku. Benar-benar bisa gila aku dibuatnya.
***
Keesokan harinya suasana rumah tampak begitu sepi. Tak ada satu pun aktivitas yang dilakukan. Padahal waktu pagi seperti ini merupakan waktu tersibuk di rumahku. Biasanya Mama akan sibuk berteriak-teriak dan Bang Rio akan membuat kegaduhan dengan mengambil alat-alat sekolahku. Papa? Sudah lama Papa tak ikut memenuhi kesibukan pagi hari.
Aku harus pergi. Berada di rumah ini membuatku semakin sesak. Pagi itu kuputuskan untuk tak pergi ke sekolah. Ini merupakan kali pertama aku membolos dan mungkin kali pertama pula absenku akan tertulis alfa. Tak ada rencana pasti kemana aku akan melangkahkan kaki. Yang jelas aku hanya ingin pergi sejenak.
Tapi, langkahku terhenti begitu melihat seorang pria berdiri di depan pagar rumahku. Melihatnya membuat suasana pagiku terasa makin suram. Sejenak segala rasa bersalah yang kemarin kupikirkan melintas begitu saja di benakku. Ya, di depan sana Kak Daniel sedang berdiri menatapku.
Aku berdecak kesal. Lantas kulangkahkan kakiku menghampirinya. Dengan lagak sok jutek, aku menyakan alasan keberadaannya disini.