Hari ini hari Sabtu. Dua hari setelah kejadian yang menyedihkan itu. Kini aku harus berkumpul di sekolah pagi-pagi buta untuk melaksanakan Diklat. Aku sudah pernah bilang kepada kalian kan, kalau Ekskulku akan mengadakan Diklat di Gunung Gede Pangrango. Sejujurnya, aku tak meminta izin sebelum pergi. Maksudku, Mama pasti sudah mengetahui kalau aku akan melaksanakan Diklat. Tetapi untuk izin ataupun berbicara kepada Mama, hari ini tak kulakukan. Kemarin, sepanjang hari tak ada aktivitas di rumahku. Sangat sepi layaknya kuburan. Seolah-olah manusia dalam rumah itu telah mati tak berdaya sebab fakta yang memilukan. Jadi, kutinggalkan saja sebuah pesan di atas meja makan.
Aku tak menganggap kejadian dua hari lalu adalah angin belaka. Kejadian itu masih jelas terlintas di benakku dan menimbulkan luka kecil di hatiku yang tak akan pernah bisa diobati, bahkan dengan operasi sekalipun. Tapi, sayangnya aku tak akan mengorbankan usaha, keringat, dan jerih payahku selama ini. Banyak waktu yang telah kuhabiskan untuk mempelajari materi, ikut latihan fisik, dan bahkan nyawaku hampir melayang saat dayung kemarin.
"Kalian catat ini dulu ya," Kak Rafa menghampiri angkatanku yang tengah berkumpul di luar sekretariat. Ia menyerahkan sebuah buku tebal yang tengah terbuka kepada Nisa.
Dengan sigap, aku dan teman-temanku pun mengeluarkan buku ekskul kami, dan mencatat kata-kata yang tertera di sana dengan penerangan lampu yang seadanya. Ternyata itu adalah Sumpah Rempakem. Setelah mencatatnya, kami disuruh untuk menghafalnya dan buku tersebut kembali diambil oleh Kak Rafa. Setelah Kak Rafa pergi, kami tak lagi bercengkrama. Yang ada kini hanyalah suara dan wajah fokus angkatanku yang menghafalkan sumpah tersebut.
Pukul lima pagi, kami pun berangkat menuju terminal bus Kampung Rambutan dengan menggunakan tiga angkot yang telah di carter. Dalam perjalanan ini kami di dampingi oleh seorang alumni yaitu Bang Raka. Cerita perjalanan ini akan kubuat singkat, karena tak ada hal yang terlalu menarik untuk diceritakan. Aku dan teman-temanku tak terlalu banyak berbicara pada anggota pengurus dan alumni. Rasanya sewaktu diklat itu ada jarak yang terbentang lebar anatara angkatanku dan anggota pengurus. Ya, kalian nanti akan tahu persis Diklat ini akan jadi ajang seperti apa.
Setelah sampai di terminal, kami menaiki bus yang melewati kawasan puncak dan turun di pertigaan Cibodas. Setelah itu kami lanjut menaiki angkot yang kembali di Carter ke pos pendakian. Pendakian kala itu kami melalui via Cibodas. Sebenarnya ada tiga jalur yang dapat ditempuh yaitu Cibodas, Gunung Puteri, dan Selabintana. Untuk pendaki pemula seperti angkatanku tentunya melewati jalur Gunung Puteri dan Selabintana bukan pilihan yang tepat. Karena jalur tersebut memiliki track yang lumayan sulit. Apalagi jalur Selabintana, selain tracknya sulit, mitosnya disana merupakan tempat Kerajaan Pacet. Kalian tahu Pacet tidak?
Aku tidak bisa mengingat dengan pasti waktu yang kami habiskan di perjalanan, mungkin tiga atau empat jam. Setibanya di pos pendakian, Kak Rey dan Kak Rani mengurus simaksi terlebih dahulu. Oh, iya simaksi itu merupakan kependekan dari Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Ya, pengurusannya gak seribet namanya kok. Kalian cukup membayarkan sejumlah uang di pos pendakiannya.
Sejujurnya untuk sekarang ini kegiatan mendaki bukanlah suatu hal yang dilakukan dengan keahlian khusus. Maksudku banyak pendaki jaman sekarang mendaki tanpa tahu tentang dasar-dasar survival, macam-macam penyakit gunung, bahkan mungkin sedikit dari para pendaki yang mengetahui cara menggunkan kompas. Kini, gunung-gunung itu bukanlah tempat yang sulit digapai. Bahkan mungkin bisa kubilang tempat rekreasi.
Proses mendaki pun tak terlalu menyusahkan. Contoh kecilnya pada zamanku dulu, ada yang namanya pemeriksaan barang ketika hendak mendaki. Salah satu temanku ada yang harus menandatangani surat perjanjian karena ketahuan membawa sabun. Biasanya barang-barang yang dilarang untuk dibawa adalah barang yang mengandung zat kimia. Oh, ada satu hal lagi yang sangat jauh berbeda. Di beberapa pos pendakian ada orang-orang yang menjual makanan. Bahkan di puncaknya pun katanya ada juga yang berjualan. Walah! Jauh berbeda sekali.
Oke cukup keluh kesahku sampai disini. Aku akan kembali melanjutkan ceritaku. Selesai dengan pengurusan simaksi, kami mulai mendaki. Pendakian untuk sampai di puncak Gunung Gede membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam dengan istirahat. Cukup sulit sekali bukan?
"Ayo, semangat! Puncak sudah kelihatan."
Sesekali di tengah perjalanan Kak Rey menyemangati kami. Aku sebenernya cukup lelah mendengar semangat itu. Masalahnya, dari kaki gunung pun aku sudah bisa melihat puncak gunung. Tapi, nyatanya puncak memang tidak sedekat itu.
"Kita istirahat dulu sebentar di sini ya."
Akhirnya setelah perjalanan panjang tanpa henti, kami beristirahat juga. Tempat yang dipilih adalah Panca Weuleh. Sebuah air terjun kecil yang berada sekitar 2.200 meter di atas permukaan laut.
"Eh, jangan duduk."
Baru saja aku ingin duduk santai di atas tanah dan melepaskan carrierku, Kak Rafa sudah memperingatiku terlebih dahulu. Aku mengeluh lelah. Sudah capai seperti ini masih juga tidak diperbolehkan duduk.
"Senderan aja di pohon, kalau sudah duduk nanti males lagi berdiri," lanjutnya lagi.
Aku pun memutuskan untuk tidak membantah dan segera mencari pohon tempat bersandar.