Hari ini.
Kota S.
Agni sedang duduk terdiam di taman samping rumah sakit. Tangannya menggenggam sebuah buku novel dengan di bagian atasnya adalah hp miliknya. Agni menatap hpnya, tadinya ingin membukanya, tapi kemudian niatnya itu diurungkannya.
Huft!
Agni menghela napas sembari menengadahkan kepalanya menatap langit bersamaan dengan tubuhnya yang juga bersandar pada kursi taman.
Kenapa bisa seperti ini?
Apa salahku sampai harus berada di titik ini?
Apa salahku sampai aku harus menghadapi situasi seperti ini?
Ada banyak pertanyaan muncul dalam benak Agni sembari menatap langit biru dengan beberapa awan yang berjalan.
Awan putih yang bergerak pelan-pelan berubah menjadi awan gelap. Angin sejuk yang tadi berembus perlahan berubah menjadi angin dingin.
Agni terus melamun sembari mengingat semua alasan dirinya duduk di kursi taman ini dengan mengulang pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul dalam benaknya tadi.
Tes, tes!
Air hujan mulai turun. Jatuh di atas wajah Agni bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajahnya.
Harusnya Agni sudah bangun dari duduknya dan segera berlari mencari tempat berteduh. Tapi hujan kali ini sama sekali tak mengganggu Agni dan bahkan Agni merasa senang dengan hujan kali ini. Hujan yang sekarang turun mampu menyamarkan air matanya yang juga jatuh membasahi wajahnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Haruskah aku diam dan bertindak seolah tidak tahu?
Atau haruskah aku melakukan sebaliknya?
Agni menarik tubuhnya dan menatap dua benda di tangannya yang sejak tadi digenggamnya: buku novel dan hp miliknya.
Drrrt!
Mendadak hp Agni berdering dan muncul sebuah nama di sana: calon ibu mertua.
Untuk sejenak, Agni ragu untuk menerima panggilan itu. Tapi dalam benaknya, Agni berpikir sejenak. Menolak panggilan itu hanya akan membuat pemanggil itu cemas dan mungkin keadaannya akan lebih parah dari keadaannya saat ini.
Huft!
Agni memutuskan untuk menerima panggilan itu setelah mengatur suara dan napasnya.
“Agni? Kamu di mana?”
Agni dapat dengan jelas mendengar suara dari pemanggil itu. Mendengar nada suara pemanggil yang tidak lain adalah calon ibu mertuanya, Agni menduga ada yang sedang terjadi sekarang di rumah sakit. Hanya ada dua jenis kabar yang akan didengarnya: kalau bukan kabar baik, pastinya kabar buruk. Biasanya Agni akan berharap menerima kabar baik, tapi karena suasana hatinya sekarang sedang tak karuan rasanya, Agni merasa dua jenis kabar itu akan sama saja.
“Aku sedang berteduh, Bu. Hujan mendadak turun dan aku lupa bawa payung, Bu! Ada apa Ibu menelponku?”
Agni berbohong. Nyatanya Agni masih duduk di kursinya di taman dekat rumah sakit dan membiarkan tubuh dan pakaiannya basah oleh air hujan.
“Ya sudah. Yang penting kamu enggak papa. Karena hujan, enggak perlu buru-buru kemari. Tapi Ibu ingin bilang kalo Redo baru saja sadarkan diri, sayang.”
“ … “
Agni membeku mendengar ucapan calon ibu mertuanya. Jika sepuluh hari yang lalu Agni mendengar kabar ini, Agni akan merasa sangat-sangat senang. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Perasaan Agni saat ini sedang campur aduk hingga Agni yang harusnya bisa merasa bahagia dengan kabar itu tak lagi merasa bahagia.
“Agni? Kamu dengar Ibu?”
“Y-ya, Bu. Agni dengar, Bu.”