Dika menatap Agni dengan tatapan tidak percaya. Dika diam sejenak memproses apa yang didengarnya dari Agni sebelum akhirnya menyalakan memegang kemudi mobilnya lagi dan menginjak pedal gas mobilnya.
Broom, broom!
Ketika mobil sudah melaju kembali, Dika bertanya pada Agni. “Di dekat rumah sakit ada kafe enggak, Mbak?”
“A-ada.” Agni menjawab dengan wajah sedikit terkejut.
“Kalo gitu kita bicara di sana.”
“Eh?”Agni melihat Dika masih dengan wajah tidak percayanya karena sebelumnya Dika bersikeras untuk tutup mulut mengenai rahasia Redo mengenai Gina. “Apa ini artinya Mas mau cerita soal Gina dan Redo?”
“Ya. Aku rasa Mbak lebih baik tahu masalah ini. Tadinya aku ingin Redo sendiri yang cerita masalah ini sama Mbak. Tapi karena Redo masih belum bangun, jadi aku sendiri yang akan cerita soal Gina.”
Setelah perjalanan selama lima belas menit dari kantor penerbitan, Agni akhirnya tiba di kafe tepat di samping rumah sakit di mana Redo dirawat.
“Silakan coklat panasnya.”
“Ma-makasih.”
Dika-teman Redo orangnya cukup perhatian. Melihat keadaan Agni yang sedikit basah oleh hujan tadi, Dika meminjamkan jaketnya pada Agni. Dika juga memesan coklat panas dan roti bakar untuk Agni agar Agni bisa menghangatkan dirinya.
Slurrp!
Agni menyesap coklat panasnya dan membuat tubuhnya merasakan sedikit kehangatan begitu coklat panas itu mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Enaknya. Hangat sekali.
Agni tersenyum pada Dika sebagai tanda terima kasihnya pada Dika yang telah memesankan sesuatu yang hangat untuknya setelah sempat kehujanan tadi.
“Terima kasih untuk coklat dan rotinya.”
“Sama-sama.”
Setelah memakan beberapa potong roti bakarnya, Agni kemudian melihat ke arah Dika yang sedang menunggunya.
“Sebelum Mas bicara, biarkan aku tanya alasan kenapa Mas mendadak ingin cerita rahasia Redo tentang Gina padaku.”