“Kamu tahu Redo punya sakit bawaan?”
Ketika sedang menunggu perawatan Redo dan Pak guru sedang berbincang dengan orang tua Redo, Dika bertanya kepada Gina. Melihat aksi Gina yang tadi sama sekali tidak panik ketika Redo ambruk dan tidak sadarkan diri, Dika merasa seperti Gina tahu akan penyakit Redo yang hanya diketahui segelintir teman Redo dan guru-guru.
“Ya, aku tahu. Wali kelas kita yang bilang.”
Dika terkejut mendengar jawaban Gina. Dika melirik Pak Guru-wali kelas mereka yang masih sibuk memberikan penjelasan pada orang tua Redo.
“Kenapa? Kenapa Pak guru ngasih tahu kamu soal sakit Redo?”
“Ehm,” Gina menggaruk kepalanya sebagai tanda tidak yakinnya. Gina tidak pernah bertanya alasan wali kelasnya memberi tahu masalah sakit Redo padanya. Gina selama ini hanya membuat dugaan saja. “Mungkin karena kemarin-kemarin aku terus-terusan buat masalah buat Redo. Ingat kan? Aku berulang buat Redo dihukum bareng aku. Mungkin itu alasan Pak Guru bilang ke aku kalo Redo sakit.”
Dika menganggukkan kepalanya setuju dengan jawaban Gina. Nyatanya beberapa waktu lalu, Gina benar-benar menyusahkan Redo dengan membuatnya berulang kali harus ikut dihukum. Kondisi fisik Redo yang lemah membuatnya mudah lelah dan dihukum jelas adalah buang-buang energi untuk Redo yang selalu disiplin tentang energi miliknya.
“Karena ucapan Pak Guru, akhirnya kamu mau nurut ucapan Redo?” tanya Dika lagi.
“Begitulah.” Gina menganggukkan kepalanya.
“Kenapa? Soal Redo sakit, itu bukan urusanmu. Kamu bisa saja minta pindah kursi kalo enggak mau direpotkan oleh Redo. Tapi kenapa kamu malah nurut sama Redo dan belajar dengan giat?”
“Ehm,” Gina kali ini melihat ke kamar rawat di mana Redo berada. Sayangnya dari balik jendela, tak terlihat Redo yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. “Mungkin aku kagum sama Redo.”
“Kagum? Bagian mana yang buat kamu kagum sama Redo? Dia pintar?” Dika bertanya sembari tersenyum kecil melihat ke arah yang sama dengan Gina.
Dika berharap Redo bisa mendengar ucapan Gina ini. Sayangnya fakta ini tak dapat didengar langsung oleh Redo karena keadaannya yang masih tidak sadarkan diri.
“Ehm, Redo emang pintar. Caranya ngajar juga bagus. Apa yang dia prediksi juga kebanyakan selalu benar. Tapi yang buat aku kagum adalah perjuangan Redo. Setelah dengar kalo dia punya penyakit bawaan yang cukup parah dan tetap bisa jadi anak yang selalu dapat peringkat, aku kagum sama usahanya. Aku enggak lihat betapa pintarnya Redo, tapi lihat usahanya itu.”
Dika kembali melihat kamar Redo di mana Redo sedang dirawat. Dika tersenyum melihat ke arah Redo dan berharap Redo bisa segera bangun dari tidurnya.
“Andai kamu dengar ini, Redo. Gina juga kagum sama kamu,” gumam Dika.
“Tapi … aku kaget loh! Gimana Redo bisa ngalahin Andre?? Andre itu salah satu anak hebat dari tim basket cowok. Hebat banget loh, Redo! Sungguh!”
Senyum Dika semakin lebar saja ketika mendengar ucapan Gina. Dika semakin berharap Redo bangun secepat mungkin karena Dika ingin mengatakan pada Redo bahwa Gina juga kagum pada Redo seperti yang Redo rasakan selama ini pada Gina.
“Setelah itu apa yang terjadi?” sela Agni lagi yang sudah tidak sabar dengan cerita berikutnya dari Dika.