Agni masih ingat dengan baik bagaimana Rere berusaha dengan keras menahan air matanya yang jatuh saat menceritakan malam yang nahas itu pada Agni.
“Malam itu, aku berhasil kabur dengan Renata. Tapi sayangnya malam itu hujan turun dengan sangat deras. Kami berdua berteriak meminta bantuan tetangga tapi semuanya tak mendengar. Jadi untuk mencari bantuan, aku membawa adikku keluar gang dan berpikir untuk memanggil semua kendaraan yang lewat. Tapi nahasnya malam itu begitu aku dan keluar dari gang, ada truk besar yang lewat. Sopir truk itu sedikit mengantuk dan tidak melihat aku dan Renata yang berusaha untuk meminta pertolongan dari mereka. Kami berdua tertabrak.”
“ … “
Agni ingat Agni yang terlalu terkejut mendengar kisah Rere, tidak bisa berkata apapun saat itu.
“Aku enggak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Begitu aku membuka mataku, aku sudah ada di rumah sakit dengan wali kelasku yang menemaniku. Awalnya wali kelasku tidak mengatakan apapun padaku. Tapi setelah aku memaksa, akhirnya wali kelasku mengatakan apa yang terjadi padaku. Adikku-Renata tidak bisa bertahan setelah kecelakaan itu karena luka parah di kepalanya akibat kecelakaan itu. Sementara kaki kananku dari lutut ke bawah hancur karena tertimpa badan truk, Ayahku tewas kehabisan darah dan ibuku dalam kondisi kritis.”
“Jadi wali kelas Mbak tahu apa yang terjadi sama Mbak?”
“Ya, wali kelas jelas tahu apa yang terjadi padaku. Tapi aku memintanya untuk merahasiakan apa yang terjadi padaku apapun yang terjadi terutama dari Redo dan Dika.”
“Kenapa? Kenapa Mbak rahasiakan hal ini dari Redo, Mbak? Bahkan kalo Redo tahu pun, dia enggak akan ninggalin Mbak?”
“Aku tahu itu, Agni. Tapi … saat itu aku kehilangan banyak hal saat itu, Agni. Aku kehilangan kakiku, kehilangan keluargaku dan kehilangan mimpiku. Aku kehilangan banyak hal malam itu, sementara Redo baru saja menemukan hal baik baginya. Melihatku dalam keadaan seperti itu, Redo jelas enggak akan bisa merasa bahagia setelah sembuh. Yang ada, Redo hanya akan ikut merasa sedih saat melihatku. Ditambah lagi, aku butuh waktu untuk menerima keadaan kakiku yang hancur. Jadi … aku putuskan untuk merahasiakan apa yang terjadi padaku pada wali kelas dan wali kelas melakukan semua hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk menjaga janjinya padaku.”
Tangan Agni gemetar saat memegang gagang pintu kamar rawat Redo. Agni teringat cerita Rere yang tidak lain adalah Gina-teman lama Redo semasa SMA-nya yang sampai saat ini Redo mungkin masih berharap untuk bisa bertemu dengannya lagi.
“Sekarang kamu sudah tahu apa yang terjadi padaku, Agni. Seperti permintaan awalku tadi, tolong rahasiakan hal ini dari Redo selamanya. Biarlah Redo menganggapku sudah mati atau menghilang dari bumi ini, Agni.”
“Kalo Mbak ingin Redo menganggap Mbak mati, kenapa Mbak menulis novel itu? Kenapa Mbak menggunakan nama itu sebagai nama pena Mbak? Kalo saja Mbak enggak nulis novel itu, kalo saja Mbak enggak pake nama itu sebagai nama pena Mbak?”
“Tolong pahami aku, Agni. Tahun itu adalah tahun yang berat bagiku. Pertemananku dengan Redo adalah satu-satunya hal yang membahagiakanku saat itu. Melihat perjuangan Redo saat itu, membuatku berjuang juga demi hidupku. Bahkan setelah malam nahas itu, aku tetap bisa bertahan sampai hari ini karena aku mengingat bagaimana perjuangan Redo saat itu bertahan dengan penyakitnya. Kalo saat itu aku enggak tahu penyakit Redo dan enggak mengenalnya, mungkin aku sudah lama bunuh diri dan enggak akan duduk di sini bersamamu. Aku menulis kisah kami hanya sebagai tanda bahwa aku berterima kasih pada Redo di tahun itu. Aku sama sekali enggak menyangka Redo akan melihat film itu dan membaca novelnya. Aku kenal Redo. Dia bukan orang yang suka membaca novel. Jadi saat mendengar ceritamu itu, aku beneran enggak nyangka, Agni.”
Glup!
Agni menelan ludahnya.