Malam itu, hujan turun perlahan, menyisakan embun di jendela ruang tamu. Raka duduk termenung di atas sofa tua yang mulai usang, menatap lampu gantung yang menggantung rendah dan berayun pelan. Televisi menyala, tapi tak ada satu pun tayangan yang benar-benar ia perhatikan. Suara anak-anaknya tertidur di kamar, menjadi satu-satunya pengingat bahwa ia tidak sendiri.
Namun, ia merasa sepi.
Vina belum pulang. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Sejak beberapa bulan terakhir, ini menjadi hal yang biasa. Vina selalu punya alasan: lembur, rapat mendadak, kerja tambahan. Tapi Raka tahu, itu bukan alasan sebenarnya.
Mereka sudah tidak lagi berbicara seperti dulu. Bahkan untuk hal sederhana seperti siapa yang membeli beras, atau siapa yang akan menjemput Aqil dari terapi. Semua jadi serba sendiri.
Raka bangkit, berjalan menuju dapur, membuka termos dan menuang secangkir teh. Suara gemericik air panas menjadi teman satu-satunya. Ia duduk di meja makan, menatap dua mangkuk kecil yang belum dicuci—bekas makan malam Aqil dan Raya.
Pintu depan akhirnya berderit terbuka.