Tiga tahun yang lalu.
Raka duduk dengan tangan gemetar di ruang tunggu klinik tumbuh kembang. Ruangan itu berwarna pastel, penuh gambar kartun dan poster edukasi. Tapi bagi Raka, ruangan itu terasa seperti ruang sidang. Ia menggenggam jemari kecil Aqil yang duduk di sampingnya. Bocah itu tampak tenang, sibuk memainkan spinner yang dibawanya dari rumah.
Vina duduk di sisi lain, menyibukkan diri dengan ponsel. Tak satu pun dari mereka berbicara. Raka tahu ini akan menjadi hari yang panjang. Hari yang mengubah segalanya.
"Pak Raka dan Bu Vina?" panggil seorang psikolog muda dari pintu.
Raka berdiri, lalu menggendong Aqil masuk ke dalam ruangan. Vina berjalan mengikuti tanpa melepaskan pandangannya dari layar ponsel.
Di dalam ruangan, ada dua tenaga ahli: seorang psikolog anak dan seorang terapis okupasi. Mereka menyambut dengan ramah. Di tengah meja, ada berkas laporan yang tebal. Raka langsung tahu: hasilnya sudah keluar.
"Kami sudah melakukan serangkaian observasi dan tes selama dua minggu terakhir," kata sang psikolog. "Dan setelah mempertimbangkan semuanya, kami mendiagnosis bahwa Aqil memenuhi kriteria untuk Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD."
Raka merasa napasnya terhenti sesaat.
"ADHD?" gumamnya. "Tapi dia... pintar. Dia cepat belajar, bahkan lebih cepat dari anak-anak seusianya."