Satu tahun setelah diagnosis Aqil, Raka mulai memperhatikan sesuatu yang berbeda pada anak keduanya, Raya. Perempuan kecil itu berusia tiga tahun. Ia cantik, pipinya chubby, matanya bulat—namun selalu menghindar dari kontak mata. Ia tidak menunjuk, tidak menoleh saat dipanggil namanya, dan lebih suka menyendiri dengan mainan yang sama berjam-jam.
Awalnya, Raka mengira Raya hanya sedang melalui fase pertumbuhan yang lambat. Namun seiring waktu, kekhawatiran itu berubah menjadi rasa takut. Terutama ketika Vina mulai menghindari berbicara soal perkembangan Raya sama sekali.
"Mungkin dia cuma telat ngomong, Rak," kata Vina suatu malam sambil membereskan mainan.
"Tapi dia nggak bereaksi sama sekali saat aku panggil. Bahkan kalau aku duduk di depannya pun, dia nggak lihat ke arahku."
"Anak perempuan kadang memang lebih lambat. Nanti juga bisa sendiri."
Raka tahu, itu bukan jawaban. Itu penyangkalan. Tapi ia memilih diam.
Beberapa minggu kemudian, ia memberanikan diri membawa Raya ke klinik yang sama. Proses assessment dimulai, dan hari-hari Raka kembali dipenuhi formulir, observasi, dan pertanyaan. Dalam hatinya, ia berharap: semoga ini hanya kekhawatiran berlebih.
Tapi kenyataan kembali memukul keras.
"Putri Bapak menunjukkan karakteristik kuat Autism Spectrum Disorder," ujar psikolog anak itu tenang. "Levelnya sedang menuju tinggi. Komunikasi dua arah belum berkembang. Ada ketertarikan obsesif pada benda-benda tertentu, dan sensitivitas tinggi pada suara."
Raka mengangguk perlahan. Ia sudah menduga. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuat dadanya sesak.