Setelah malam gelap itu, Raka tidak tidur. Ia hanya duduk di depan meja makan yang kosong, dengan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Tapi pikirannya berlari ke segala arah—tentang masa depan, tentang anak-anak, tentang Vina yang semakin jauh, dan tentang dirinya sendiri yang makin lama makin tak ia kenali.
Keesokan paginya, ia tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Bangun sebelum subuh, menyiapkan sarapan sederhana dari bahan yang tersisa di dapur, memandikan Raya dengan sabar, dan membujuk Aqil agar mau duduk tenang sebentar sambil menggambar.
Namun di dalam dirinya, ada suara kecil yang terus berbicara:
“Kamu lelah. Kamu hancur. Tapi kamu harus terus jalan.”
Ia pernah membaca di sebuah forum daring, bahwa ayah dari anak-anak berkebutuhan khusus jarang dibicarakan. Yang selalu jadi sorotan adalah ibu: perjuangannya, tangisnya, dan beban mentalnya. Tapi tak ada yang bertanya bagaimana kondisi sang ayah. Tidak ada yang bertanya pada Raka, “Kamu kuat nggak?”
Ia berjalan seperti hantu di siang bolong—bergerak, berfungsi, tapi tak benar-benar hidup.
Di sela-sela terapi, ia mulai menulis di buku kecil. Catatan yang awalnya hanya untuk melegakan hati, berubah menjadi semacam jurnal pengakuan. Di sana ia mencurahkan semua: ketakutan, rasa marah, rasa hampa, juga harapan-harapan kecil yang tumbuh pelan-pelan.