Hari itu, Raka duduk di bangku kecil luar ruangan terapi. Bau khas ruangan—campuran plastik mainan, sabun tangan, dan sesuatu yang lembut dan menenangkan—mulai akrab baginya. Raya ada di dalam ruangan bersama terapisnya, duduk di depan meja sensorik. Ini sesi ke-12 sejak mereka mulai rutin datang ke pusat terapi.
Raka tak lagi seperti dulu yang gelisah menunggu. Kini ia belajar mengamati. Melihat setiap perubahan kecil—cara Raya mulai berani menatap mata orang lain sejenak, atau betapa ia tak lagi menangis keras tiap memasuki ruangan.
Terapis keluar setelah 45 menit, tersenyum. “Hari ini Raya bilang ‘air’ sambil menunjuk gelas. Dia juga mulai tertarik dengan puzzle warna.”
Raka hampir tak percaya. Kata pertama. Satu suku kata yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi untuk dirinya dan Raya, itu adalah gunung yang berhasil didaki.
Ia mengangguk, terlalu tercekat untuk berkata banyak. Saat Raya keluar dari ruangan, ia menyambutnya dengan pelukan dan mata berkaca-kaca.
“Hebat kamu, Nak,” bisiknya.
Di rumah, Aqil juga menunjukkan perubahan. Setelah dua bulan rutin terapi perilaku dan pendampingan di sekolah, ia mulai bisa duduk tenang selama lima menit untuk membaca buku gambar. Memang masih suka memotong pembicaraan dan sulit fokus, tapi ia sudah mulai mampu menyampaikan apa yang ia inginkan tanpa harus berteriak.
Vina mulai lebih terlibat. Ia ikut sesi terapi orang tua mingguan dan mulai membuat jurnal sendiri. Suatu malam, Raka menemukan catatan istrinya: