Langit mendung sejak pagi, seolah tahu badai sedang mengarah ke hidup Raka.
Telepon dari tempat kerja datang lebih cepat dari biasanya. Suara di seberang terdengar datar, namun setiap kata menancap tajam ke dada.
“Maaf, Mas Raka. Karena efisiensi, kami harus mengurangi staf. Mulai minggu depan, kontrak Mas tidak kami lanjutkan.”
Ia tak menjawab. Hanya mengangguk meski telepon tak menampilkan wajah. Satu lagi pegangan yang runtuh. Ia menutup telepon, lalu menatap layar lama—seolah berharap semua itu cuma mimpi buruk.
Ketika ia memberitahu Vina, istrinya hanya menatap kosong. Lalu memalingkan wajah, memeluk Raya lebih erat.
“Apa sekarang kita harus pilih?” tanya Vina pelan. “Pilih siapa yang terus terapi dan siapa yang harus berhenti dulu?”
Pertanyaan itu seperti belati. Raka tak menjawab, karena tak ada jawaban yang benar. Hati orang tua tidak dibuat untuk membagi cinta, apalagi menimbang siapa yang lebih butuh pertolongan.
Malamnya, mereka berdua duduk di depan lembar-lembar tagihan dan daftar kebutuhan. Mereka mencoret, menulis ulang, mencoba menekan pengeluaran. Tapi semua itu hanya seperti menata batu di tepi jurang.
Aqil duduk di lantai, menyusun mainan balok. Raya berbaring di lantai, tangannya menelusuri tekstur karpet dengan kesabaran luar biasa.