Aroma kopi menguar dari cangkir mungil berwarna putih dengan dentingan sendok sebagai pengiringnya. Aku melambatkan kegiatan mengadukku saat mendengar air mulai menetes dan membasahi genting. Membuat suara hujan yang riuh, saling bersaut-sautan dengan suara dentingan cangkir kopi. Suaranya cukup mengisi kesunyian saat ini. Suara yang selalu aku gunakan sebagai pengalih perhatianku.
Tanpa sadar aku menghelakan nafasku sambil memutar badan, membiarkan mataku menatap kosong keluar pintu kaca. Menatap kosong pekarangan kecil yang dihiasi tiang besi dan tali-tali tambang yang kendur. Titik-titik air terlihat bergelantungan pada tiap serat tambang, lalu memilih untuk mencintai gravitasi dan jatuh bebas, dilalap habis oleh rerumputan.
“Ceklek,” aku memilih tidak menghiraukan suara pintu rumah yang dibuka, dan tetap sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai seseorang melangkah masuk dan berjalan mendekatiku.
“Ki,” aku menoleh pelan saat mendengar intonasi suara yang dengan lembutnya memanggil namaku. Kutatap lekat seorang wanita yang telah menghabiskan dua tahun masa hidupnya, di bawah atap yang sama denganku. Wanita itu menyodorkan sebuah benda putih dan tipis ke arahku, benda yang aku kenali sebagai amplop. Kunaikkan sebelah alisku dengan heran.
“Apa ini?” tanyaku. Kuraih amplop yang dibungkus rapih dengan plastik. Nampak basah karena masih ada jejak-jejak air hujan di atasnya.
“Enggak tahu,” jawab Wanita itu. Wanita itu bernama Silma, ia adalah teman satu kontrakkan, sekaligus sahabat terbaikku dari bangku SMA. Kondisinya saat ini terlihat sangat payah di dalam balutan pakaian yang basah.
“Yaudah makasih, ya? Cepet mandi, nanti kamu sakit,” saranku yang segera disetujui oleh Silma. Silma berjalan cepat-cepat ke arah pintu kamarnya, lalu menghilang di baliknya.
Setelah menatap habis punggung Silma, aku mengamati kembali amplop putih yang basah, lalu memilih untuk mengelap permukaannya dengan tissue yang aku dapat dari atas almari es. Hanya ada satu nama terang yang tertera disana, bukan nama dari pemiliknya, tetapi namaku. Ditulis dengan huruf tegak bersambung yang dibuat sedikit meliuk. Terlihat indah dan berseni. Siapapun penulisnya, sepertinya memiliki nilai seni yang tinggi.
Aku membuka lapisan plastiknya, kemudian mulai membuka amplopnya dan membaca.
“Jika aku hujan, aku pasti sudah tersipu malu, karena mendapati orang semanis dirimu menatapku dengan begitu lekat,”
Aku mengerutkan dahiku dalam, membolak-balik selembar kertas itu dengan heran. Tanpa sadar sebuah senyum kecil terukir di wajahku, bersamaan dengan hangatnya hatiku. “Lucu juga yang kirim surat ini,” batinku.