“Ki, ada lagi!” seru Silma, saat aku hendak memutar kunci rumah yang sudah tertancap di lubangnya. Keheranan, aku melongokkan kepalaku kebelakang, berusaha menangkap sosok Silma yang tengah membungkukkan tubuhnya, mengambil sesuatu dari kotak surat yang setengah berkarat di depan rumah.
“Ada lagi?” tanyaku keheranan. Silma tidak merespon pertanyaanku, tangannya terjulur kedalam kotak surat, kemudian setelah mendapatkan amplop tersebut, ia berjalan ke arahku dan menyodorkan amplop kepadaku. Amplop putih yang sama persis seperti amplop kemarin.
“Sepertinya sudah semalaman di luar, lihat....” Silma menunjuk jejak-jejak air hujan yang sudah mengembun di lapisan dalam plastik bening, meninggalkan bercak-bercak kehitaman, tanda tinta yang luntur.
Hati-hati aku membuka plastik pembungkus, berusaha tidak merusak amplop yang lembap, sementara Silma sudah berjalan melewatiku dan memutar kunci.
“Karena caramu melihat hujan, telah sukses membuatku ingin untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Apakah aku harus menjadi hujan agar kamu melihatku?”
Kubaca tulisan tegak bersambung yang meliuk indah di atas kertas berukuran B5, sedikit luntur di sana-sini. Siapapun pengirimnya, ia adalah tipe yang sangat rapih dan sangat tahu mengenai seni. Namun, isi suratnya kali ini, terasa seolah menyembunyikan sesuatu. Seolah ada makna lain yang tersembunyi rapih di balik deretan kata tersebut. Entah mengapa aku merasa sangat janggal dan terusik karenanya.
“Sepertinya, dia selalu mengamatimu, Ki. Buktinya, dia dapat tahu kalau kamu suka sekali melihat hujan,” cletuk Silma yang ternyata sedari tadi mengintip isi suratku, kakinya mengganjal pintu rumah, menungguku masuk.
Perlahan aku masuk ke dalam rumah dengan dahi berkerut dalam, mempikirkan ucapan Silma.
“Tapi, siapa?” tanyaku. Saat kudapati Silma hanya mengedikkan bahunya, aku hanya menghelakan nafasku lelah.
“Orang kampusmu?” tebak Silma ragu.
“Rasanya tidak mungkin. Lagipula, bagaimana bisa?” Nilaiku, sambil mengingat bagaimana aku bersikap di kampus. Nampaknya aku adalah tipe orang yang terlalu dingin dan tidak bersahabat. Aku jarang berdandan selain bedak dan lip stick. Terakhir, sudah pasti aku tidak secantik dan sejelita Indah, dengan lemak menyelip disana-sini. Jika melihat bayangan postur tubuhku dari jauh, sudah pasti semua kaum adam memilih kabur tunggang langgang untuk menjauh ketimbang berlarian mendekat untuk menaruh hatinya. Semuanya, kalaupun ada, sepanjang sejarah hidupku, hanya ada satu orang yang mampu menghancurkan asumsiku. Orang itu adalah ...
"Arya?” aku menoleh menatap Silma, saat tiba-tiba saja ia menyebut nama Arya. Ia nampak melipat lengan di depan dada, sambil menyandarkan sebagian tubuhnya di tembok.
“ Maksudnya?” gumamku.