“Jika aku memohon padamu, untuk berhenti memandangi hujan dan mulailah mencari pelangi, apakah kamu mau mencobanya? Bukannya tanpa alasan, tetapi “Pelangi” telah menyediakan segalanya, bahkan sebuah harta karun di salah satu ujungnya. Harta karun yang berisi kebahagiaan.”
Aku memandang kosong beberapa orang yang menggunakan pakaian berwarna senada dengan pakaian yang aku kenakan. Mereka berlari kian kemari, sambil mengangkut barang-barang dari dalam gudang. Sesekali suara gemrisik holki talkie terselip diantara derai hujan yang deras.
Bukannya ikut menyibukkan diri, aku malah sibuk memandangi surat yang baru saja aku peroleh dari penjual mie ayam langganan depan kampus. Surat itu datang lengkap dengan payung dan obat flu. Sebenarnya dari kemarin aku terus mempikirkan isi surat kedua yang terasa begitu janggal, tetapi kini, entah bagaimana aku merasa mendapatkan petunjuk dari surat ketiga.
Kutatap kata pelangi yang diawali dengan huruf kapital dan diberi tanda kutip. Seolah pelangi disini adalah kata ganti orang. Jika memang demikian, bisa jadi selama ini hujan bermakna ganda. Hujan yang memang terjadi karena kondisi iklim, hujan yang dimaksudkan sebagai kenangan, atau, hujan sebagai kata ganti orang. Hujan sebagai Arya.
Sebuah cahaya terang membelah langit, diiringi suara guntur yang menggelegar, disahuti oleh beberapa pekikan mlengking khas wanita. Mau tidak mau tubuhku merinding dan berjengit juga karena terkejut.
“Kiara?” Aku menoleh memandangi Indah yang menatapku dengan kaget dan heran. Seolah ia tidak menyangkan akan menemukanku diantara tumpukan kardus.
“Gimana, Ndah?” tanyaku sambil buru-buru memasukkan surat kedalam kantung plastik, bersamaan dengan payung dan obat flu.
“Ada anak yang sakit parah, barusan di bawa ke unit kesehatan,” terang Indah dengan tenang. Aku mengangguk dan perlahan berjalan ke unit kesehatan, tidak menyadari jika namaku sedari tadi di panggil melalui holki talkie. Indah yang biasanya tenang, mau tidak mau kesal menanggapi suara brisik panitia-panitia yang menanyakan keberadaanku.
“Kiara udah sama aku!” seru Indah tanpa sadar, aku sedikit berjengit karenanya. Gesture tubuh Indah nampak tengah menahan emosi. Tangannya teremas dan ia menekan tombol lift terlewat keras.
“Ndah, maaf, ya? Kondisinya parah sekali?” cicitku. Indah melirikku dingin, sebelum menghelakan nafasnya berusaha sabar.
“Namanya Sinta, seharian dia muntah. Padahal gak makan apapun. Terakhir dia mimisan. Darahnya enggak mau berhenti.”