Tidak seperti biasanya, hari ini aku bangun terlalu pagi. Aku baru tersadar saat melihat jarum pendek jam dinding masih menunjuk angka lima. Terseok, aku berjalan ke dapur, berniat mengambil minum untuk melegakan tenggorokkanku yang kering.
Baru lima langkah, aku mendengar suara berdecit besi berkarat, dari arah luar rumah. Penasaran, aku memutar langkahku, mengintip dari jendela dekat pintu. Samar, seseorang dibalut jaket parasut berwarna abu-abu memasukkan sebuah amplop kedalam kotak surat di depan rumah.
Mataku membulat, gejolak adrenalin memenuhi tubuhku yang tiba-tiba ingin mengetahui sosok pengirim surat-surat misterius. Ingin mengetahui sosok di balik “Pelangi”. Buru-buru aku membuka pintu, berupaya menangkap basah pelaku.
Sosok itu nampak berjengit terkejut, wajahnya tertutup topi dan masker, berlari tunggang-langgang ke arah ujung jalan. Tanpa sadar aku menggerutu, sekali lagi, gagal bagiku menemukan sosok asli dibalik “Pelangi”.
“Ada apa, Ki?” suara Silma mengejutkanku dari lamunan penuh kekecewaan. Aku melirik Silma, menatap matanya yang setengah memincing dari dalam rumah.
“Bukannya kamu lagi sakit, ya?” cletuk Silma kembali, sebelum aku sempat menjawab.
Aku mengangguk, teringat tenggorokkanku yang minta diberi minum.
“Kalau sakit, kenapa malah hujan-hujanan?” tanya Silma dengan nada heran. Aku mengerjap bingung, baru menyadari rambutku sudah lembap karena gerimis.
“A....” belum sempat menjawab, aku terbatuk. Buru-buru aku berlari kedalam rumah, membuang riak di kamar mandi. Silma yang mengikuti menedengkan handuk sambil menatapku prihatin. Nampaknya kami berdua sepakat, jika kondisi kesehatanku memburuk.
“Surat yang kamu kasih ke aku kemarin...,” Silma nampak terdiam lama sebelum melanjutkan, “Kok kesannya dia kenal kamu dan Arya, ya?” gumam Silma.