“Seperti embun yang harap-harap cemas disambut cahaya mentari esok, begitupula sosok “Pelangi”. Ia meragu, apakah ia cukup pantas? Apakah ia cukup mampu, menggantikan sosok “Hujan” untukmu? Ia hanya berupaya mempersiapkan yang terbaik yang ia bisa. Ia hanya ingin melihatmu bahagia. Apakah kamu mau mencoba bahagia bersamanya?”
Air mataku sedikit mengaburkan pandangan, saat aku membaca isi surat. Surat yang nyaris membuatku mengetahui sosok di balik “Pelangi”. Entah mengapa, aku merasa di dalam surat kali ini, ada kerendahan hati dan ketulusan. Sesuatu yang terasa begitu nyaman dan penuh harapan.
“Mau coba di tantang biar muncul?” cletuk Silma sambil duduk di salah satu bangku, menaruh satu mangkuk mie instant dengan telur setengah matang diatas meja makan.
“Entah lah Sil, aku tidak yakin,” bisikku.
“Ki, tantang saja. Kalau dia memang serius, harusnya dia sadar, dia tidak mungkin bisa membahagiakanmu dari balik bayang-bayang. Suatu saat, aku percaya dia akan muncul, walaupun kamu tidak menaggapi satupun surat-suratnya.
“Kalau dia malah menghilang setelah kamu kirim surat tantangan, bukannya bagus? Kamu jadi tidak perlu merasa tersentuh dengan isi surat-suratnya yang....,” Silma mengerutkan dahinya dalam, seolah berusaha menemukan kalimat yang tepat “menyentuh,” sambung Silma segera.