Pulang dari kuliah, tanpa sadar, secara refleks aku mengintip ke arah kotak surat. Berusaha menemukan sesuatu yang biasanya tiba-tiba muncul disana. Berusaha menemukan surat dari “Pelangi”.
“Eh, cari apa, Neng?” Ledek Silma sambil ikutan mengintip kotak surat. Melihat ekspresiku yang kesal, mau-tidak mau, tawa yang Silma sembunyikan rapat-rapat, meledak dengan lebar. Silma menertawai kegiatan baruku selama dua hari belakangan ini, mengecek isi kotak pos sebelum berangkat kuliah dan seusai kuliah.
“Ah, gak mau peduli lagi, deh! Paling iseng!” putusku sambil menggerutu panjang pendek. Sebenarnya, ada sedikit rasa kecewa yang menyelip malu-malu tertutup egoku. Entah mengapa, bisa-bisanya aku menaruh harapan dari surat-surat iseng tersebut.
“Mungkin, sesuai namanya. Pelangi, indahnya hanya sesaat,” putusku kemudian sebelum memasuki rumah dan membanting tubuhku ke atas sofa dengan kesal hati.
***
“Asiknya hubungan tanpa status adalah, mendapatkan perlakuan seperti pacar, tapi bisa bebas dekat sama banyak wanita..., ya gak Gir?” Seorang pria dengan kulit sawo matang dan wajah standart (dibilang tampan ya enggak, jelek juga enggak) tertawa terbahak-bahak, barang kali kalau digambarkan dalam komik, air liurnya sudah muncrat kemana-kemana. Giri, pria berambut ikal setengah gondrong, menanggapi Doni dengan seringai kecil.
“Dasar pria,” gerutuku kemudian.
"EH! Jangan anggap semua pria sama!” sanggah Dimas, yang duduk di sisiku. Rambutnya rapih dan klimis lantaran gel, “Cuma cowok tengiri kaya Doni yang kaya gitu.”
“Iya, Doni mah kagak bener! Emang lu kagak bisa lihat?” imbuh Giri dengan logat khas ibu kotanya. Tidak lupa ia mengedikkan dagu penuh hinaan kepada Doni. Mendengar tuduhan-tuduhan kearahnya, Doni mengatupkan bibirnya dengan kesal, lalu tertawa jumawa.
“Barusan senyum-senyum setuju, sekarang ikut-ikutan marah. Dasar, terserah deh apa kata kalian wahai para jomblo lapuk. Dasar, bilang aja kalau kalian enggak mau kemana-kemana sendiri, tapi males banget buat terikat sama status pacaran. Kalau berhasil bikin baper cewek-cewek saja kalian masih pada bahagia.” Tanpa sadar aku membuka bibirku mendengar celotehan penuh pembelaan dari Doni. Buru-buru aku melirik ke arah Dimas dan Giri, dan mereka berdua berdeham tidak enak hati sambil buru-buru buang muka. Nampaknya, ucapan Doni mewakili perasaan kedua sobatnya.
Bibirku sudah berkedut ingin melontarkan kalimat-kalimat pedas, sampai Giri tiba-tiba menyanggah, “Bener sih, omongan lo. Tapi bangs** namanya kalo mainin hati wanita. Kualat mamp*s!”
Aku menangguk tanpa sadar, setuju dengan ucapan Giri barusan.
“Benar loh ucapan Giri. Kalau adik perempuanmu buat mainan pacarnya, gimana?” tanya Dimas tiba-tiba membuat suasana panas mendadak menjadi hening. Doni bungkam seribu bahasa.
“Yaudah, aku gak izinin Lia pacaran!” putusnya dengan bulat setelah berpikir beberapa menit, membuat kami bertiga sontak mendelik ingin memprotes jalan pikirnya yang sempit. Lia atau adiknya, pasti sangat menderita punya kakak semena-mena seperti Doni.
“Terserah deh,” gerutuku sambil kembali menggambar grafik.
"Heh! Mending lu bantuin gue edit laporan!” printah Giri dengan kesal yang segera disetujui oleh Dimas dan aku. Mau tidak mau, akhirnya Doni memutuskan untuk meletakkan ponselnya dan mulai membantu membuat laporan praktikum.
Sambil menggambar grafik, kembali aku teringat akan surat tantangan yang aku kirimkan kepada “Pelangi”, dan bagaimana surat-suratnya telah menghilang selama satu minggu.
“Sebenarnya, ada yang mau aku tanyain,” bisikku sambil menatap ketiga orang di hadapanku. Ketiganya menatapku dengan was-was. Soalnya, aku belum pernah membuka percakapan. Sekalinya bicara, aku hanya menimpali dengan cletukkan atau sindiran-sindiran.
“Heum, gak jadi deh. Nanti kalian bocor kemana-kemana.” Gumamku.
“Gakk..., beneran,” Doni menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Seolah ia tengah besumpah. Entah mengapa aku tidak percaya.
“Ah, elu bikin penasaran aja!” gerutu Giri.
“Buat apa kita bocorin?” Dimas bertanya balik. Aku menatap mereka ragu. Namun rasa penasaranku ratusan kali lebih besar. Akhirnya aku menyerah dan memputuskan untuk becerita kepada mereka.
“Jadi, sekitar dua minggu lalu. Ada surat-surat entah dari siapa yang datang ke rumahku. Awalnya berisi rayuan dan nampak iseng. Hanya saja, lama kelamaan surat itu seolah serius, dan sungguh-sungguh. Seolah rayuan, yang perlahan berubah menjadi...,” aku diam sesaat memikirkan kalimat yang tepat, “janji barang kali.”
“Terus?” Doni bertanya dengan tidak sabar.
“Ya, kalau ada janji, pasti ada penantian, percaya, dan harapan,” gumamku, sebelum menghelakan nafas berat.
“Jangan bilang saat lo mulai berharap dan percaya, dia pergi?” aku menghelakan nafasku dengan berat, menatap Doni yang sudah menyeringai geli, disusul Dimas dan Giri. Aku tidak akan marah jika mereka tertawa, karena memang se-ironi itu dan selayak itu pula ditertawakan.
“Ironi ya, saat aku mulai percaya dan menantang dia hadir dalam wujud asli, bukannya surat. Dia malah menghilang selama seminggu.” Tanpa sadar, aku tersenyum miring, menegak air putih rasa beer. Pahit.
“Ehm, mungkin cowok itu benar-benar hanya iseng sama kamu,” gumam Doni.
“Atau..., positif aja. Siapa tahu dia menghilang buat mempersiapkan diri,” kali ini Dimas menimpali. Kutatap mata Dimas lekat, berusaha menuntut penjelasan dari kesimpulannya yang mengandung sedikit harapan.
“Well, sebenernya gak bisa dipungkiri, ada gelar dari teman-teman angkatan buat kamu, Ki. Cewek Es. Yah.. kamu dingin, gak terlihat bersahabat, meskipun banyak orang bilang, kalau kamu orang baik dan supel saat diajak bicara, kamu lebih banyak diam dan tidak pernah membuka percakapan duluan. Sebenarnya, kami shock loh, kamu buka percakapan dulu.
“Kami juga, jujur..., agak terkejut. Gak nyangka ada cowok yang berani deketin kamu, cara deketinnya pun beda. Anti mainstream. Niat. Mana ada cowok zaman sekarang rela-rela nulis surat, cuma buat main-main. Menurutku, dia pasti lagi siapin dirinya deh. Soalnya dia tipe ter-niat dan romantis sekaligus,” terang Dimas panjang lebar. Aku mengerjap tanpa sadar dan mengangguk. “Benar juga.”
“Tapi, Ki. Lo kagak takut? Ada orang yang kirim surat buat, lo. Kirimnya kemana? Rumah? Tahu dari mana rumah lo? Bukannya ngeri banget ya?” ucapan Giri menyadarkanku pada kegelisahan akhir-akhir ini.